Saturday, March 29, 2008

disappear

---

ketika rasa mengambang di lautan awan….
tak ada pijakan yang kukuh…
tak ada kepastian.
Diri hanya mungkin bertenger dalam angan
hanya sebuah kemungkinan,
tapi memang yang ada hanyalah sebuah kemungkinan
itu yang selalu kupegang
Angin bertiup kencang….
awan pun bergerak,
dan bentuknya pun terus berubah
pecah,
menipis,
dan akhirnya hilang
entah ke mana….
angan melayang tak lagi berpijak.
24 Februari 2008


Selengkapnya...

Tuesday, January 29, 2008

KURING URANG SUNDA (?)

---


(Hariring Nu Hudang Gering)

Ahmad Gibson Al-Bustomi
Euleung, euy! Euleung!
Dikurkur di unggal lembur,
Disayangan kari cangkang;
Eureun, euy! Eureun!
Ditutur kalah malabur,
Diteang kari kalangkang.

H. Hasan Mustapa
dalam naskah: Bale Bandung

Lahir dari rahim keluarga Sunda pituin, dan sejak kecil hidup dalam lingkungan masyarakat Sunda. Saya orang Sunda! Karena biasa, maka tidak ada hal yang cukup menarik untuk diperhatikan dan dijadikan bahan pembicaraan berkenaan dengan ke-Sunda-an saya. Baru setelah tahu dan sadar bahwa selama ini atmosfir budaya asing lebih dominan dalam membentuk prilaku dan konstruk nilai budaya yang hidup dalam pikiran dan pengalaman bathin. Padahal selama ini, bahkan sejak lahir ke dunia ini, hidup dan dibesarkan dalam masyarakat Sunda, atau tepatnya orang Sunda. Mengunakan bahasa Sunda dan mengaku sebagai orang Sunda. Tapi, betulkan saya orang Sunda?
Masih ada sedikit pengalaman bathin kesundaan yang mungkin masih berkarat dalam hati. Ketika mendengar lagu atau musik Sunda, hati ini sangat mudah terhanyut, khususnya lagu-lagu dan musik Sunda yang bernuansa klasik. Seperti degung, cianjuran atau kecapi-suling, walau pun tidak pernah bisa memainkan alat musik dan menyanyikan lagu-lagu Sunda tersebut. Atau, bila membaca serta membicarakan peristiwa palagan Bubat, biasanya emosi kedaerahan sangat mudah muncul. Dalam keadaan seperti itu, kesadaran bahwa saya Urang Sunda, sangat terasa. Itu pun bila hal-hal tersebut bisa disebut sebagai ciri orang Sunda, yaitu orang yang masih memiliki kepekaan rasa bahkan mungkin emosi tatkala disentuh oleh sesuatu yang bernuansa kesundaan atau tragedi-tragedi yang dialami sejarah daerahnya.

Namun, muncul keraguan dalam diri, semua muncul karena memang sejak kecil terbiasa dan dibiasakan dengan musik-musik klasik, Barat. Jangan-jangan perasaan suka terhadap musik klasik Sunda tersebut tak lebih dari ketersambungan rasa seni yang bersifat universal. Ada kesamaan nuansa di sana. Demikian juga kemunculan emosi tatkala membaca atau membicarakan tentang palagan Bubat, rasa-rasanya hanya muncul dari perasaan imperior yang melahirkan sikap berontak, tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Palagan Bubat hanyalah perwakilan dari perasaan imperior.
Perasaan-perasaan tersebut sering menimbulkan pertanyaan dalam diri, jangan-jangan “Kuring bukan urang Sunda”. Apa lagi ada yang sering berkata bahwa orang Sunda harus malu bila tidak bisa main kecapi, suling, serta alat-alat musik Sunda lainnya. Atau, berbahasa Sunda dengan baik (ala Mataram-an, dengn UUBS-nya). Uniknya, pembicaraan tentang ke-Sunda-an senantiasa menjadikan era Pajajaran sebagai model masyarakat Sunda “ideal” atau tepatnya original sedangkan konstruk budaya yang disosialisasikan adalah Sunda-Mataram, baik bahasa maupun cita-rasa seninya… Mungkin karena kebanyakan budayawan terlahir dari keluarga Priayi Sunda-Mataram. Priayi yang memiliki mental Pun Boncel, yang berada dalam kuasa budaya lain, yang tidak pernah merasa risih untuk menolak asal-usulnya, poho ka purwadaksina. Lupa pada warisan primordialnya. Lebih bisa dan membuka diri untuk menerima budaya Mataraman, dan menolak (nga-apilainkeun) budaya warisan Sunan Gunung Djati yang menurut cerita karuhun Sunda adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Bahkan dengan tidak risih pula menolak Cirebon sebagai bagian integral dari budaya Sunda. Padahal sejak jaman kerajaan Galuh dan Kawali, Cirebon merupakan salah satu jalur vital dan strategis yang menghubungkan Sunda dengan kerajaan lain di belahan dunia lain. Yang, kemudian menjadi pusat kekuasaan Sunan Gunung Djati. Sunan Gunung Djati kemudian mengembangkan sayapnya ke wilayah Banten dengan mengutus dan menjadikan anaknya sebagai penguasa wilayah tersebut.
Kini, salah satu dari wilayah kekuasaan Sunan Gunung Djati tersebut telah memisahkan diri dari Jawa Barat. Bila hal itu terjadi, maka adagium “ngamumule budaya Sunda” tidak lagi memiliki makna yang sebenarnya, karena tidak dibarengi dengan itikad ngamumle kosmos spiritual dan wilayah atau kesundaannya. Pada jaman kerajaan Kawali, dan Pajajaran-Banten khsusnya “Badui” memiki posisi spiritual yang sangat tinggi, ia bahkan merupakan “axis mundi” orang Sunda dan tatar Sunda dengan penguasa langit dan bumi. Pada masa Sunan Gunung Djati Cirebon pun pada akhirnya menjadi pusat spiritual orang Sunda, paling tidak dari kalangan Islam-Sunda. Namun, kini salah satu wilayah spiritual Sunda tersebut telah terpisah dari orang-orang Sunda wilayah timur. Bila demikian, latar histori sebagai khazanah primordial Orang Sunda telah hilang dari kehidupan masa depannya. Kini, yang tersisa dalam khazanah sejarah spiritual Orang Sunda bagian Timur adalah Cirebon. “Belahan Sunda” yang jarang masuk dalam pembicaraan tokoh budayawan Sunda.

Semangat primordial (bukan primordialisme) merupakan semangat yang bisa melahirkan rasa percaya diri pada masyarakat suatu bangsa, seperti kepercayaan primordial bangsa Jepang bahwa mereka keturunan Dewa Matahari. Semangat yang melahirkan rasa percaya diri dan harga diri bangsanya. Semangat yang memecut bangsanya untuk maju dan melangkah lebih pasti. Ia tidak pernah mengutuk dikarenakan orang lain berada di depannya, asal ia tidak pernah berhenti untuk melangkah. Ia merasa bahwa ia adalah bangsa terbaik yang ditakdirkan Tuhannya untuk menjadi bangsa yang luhur dan maju.
Bila demikian, wajar bila berbicara tentang Sunda dengan segala aspeknya, ibarat menggantang asap, menegakkan benang basah. Karena semua pembicaraannya tidak memiliki semangat sejarah spiritual, tak lebih dari penyaluran emosi belaka. Pembicaraan yang didasarkan pada dendam, bukan harga diri dan rasa percaya diri. Pembicaraan tentang palagan Bubat, sebagai contoh, lebih mengarah pada pemunculan emosi ketertindasan untuk menyulut dendam. Sisi lain yang lebih positif dari peristiwa palagan Bubat jarang dibicarakan. Sebagai contoh, bagaimana penyelesaian dan keputusan yang diambil oleh Prabu Bunisora Suradipati yang dikenal dengan Prabu Batara Guru Pangadiparamarta Janadewabrata. Ia mengambil cara menahan diri, sesuai dengan prinsip ajaran spiritualnya, ajaran spiritual Sunda. Bukan dengan cara membabibuta dan teror. Tragdi di mata Prabu Batara Guru bahkan menjadi motivasi untuk meningkatkan kualitas spiritualnya, memperkuat kepribadiannya. Dan, menyalurkan “dendam” pada aspek-aspek positip, sehingga kerajaan tersebut mencapai kejayaannya. Ia mempersiapkan Raja Muda Wastu Kencana, putra Sang Hyang Bubat sebagai “tabungan” bagi kejayaan Sunda di masa depan. Sikap yang dilakukan pula oleh Raja Pajajaran Prabu Siliwangi ketika mengalami pertentangan dengan generasi baru Sunda, Kean Santang yang memiliki keyakinan yang berbeda. Hal yang sama pula dilakuakn Sunan Gunung Djati ketika kenyataan ia sebagai turunan Prabu Siliwangi, pewaris Kerajaan Pajajaran ditolak karena ia menganut keyakinan yang berbeda.

Kuring orang Sunda, demikian yang dikatakan salah seorang teman yang berasal dari Banten, demikian juga temanku yang orang Cirebon. Saya bukan orang Jawa, demikian teman yang berasal dari Cirebon itu berkata penuh emosi. Orang yang sering dijuluki oleh orang Priangan sebagai Jawa reang, karena mereka tidak menggunakan bahasa Sunda (?) sebagai bahasa sehari-harinya. Saya jadi bingung sendiri, karena saya sendiri tidak tahu Bahasa Sunda yang betul-betul Sunda. Apakah bahasa orang Priangan yang memiliki undak-unduk Bahasa, Bahasa Banten yang kasar (menurut orang Priangan), atau Bahasa Cirebon yang disebut orang Priangan sebagai Bahasa Jawa, walaupun orang Jawa sendiri belum tentu mengerti Bahasa Cirebon. Atau mungkinkah Sunda sendiri sejak dulu memang memiliki sejumlah bahasa bukan sekedar dialek. Bila benar, maka kesundaan seseorang sulit bila diukur oleh bahasanya saja. Paling tidak “harus” diakui bahwa terdapat banyak atau bukan hanya satu-satunya bahasa yang dipakai oleh orang Sunda, atau orang yang mengakui dirinya sebagai orang Sunda.

Atau, cukupkah hanya dengan menyebut dirinya sebagai orang Sunda, dengan dasar bahwa ini keturunan pituin orang Sunda? Apakah mereka gugur sebagai orang Sunda karena ia lebih pasih berbahasa “lain”, atau bahkan tidak mengerti bahasa Sunda, kalaupun ia keturunan asli Sunda? Seperti halnya orang Sunda sekarang, generasi yang lahir dari rahim Sunda pituin, yang tidak mengenal dengan baik bahasanya (Sunda-Mataram ?), tidak mengenal khazanah budayanya. Ia tidak bisa bermain musik degung, kecapi, suling. Tidak pula pernah mendendangkan lagu-lagu atau tembang Sunda, bahkan tidak jarang mereka menganggapnya sebagai seni kampungan. Lebih dari itu, ia pun tidak pernah perduli apakah ia orang Sunda atau bukan. Apakah ia masih dianggap orang Sunda?

Sepertinya sulit untuk merumuskan kepastian seseorang disebut Sunda, karena Sunda bukanlah sebuah organisasi formal yang memiliki sejumlah syarat dan kriteria keanggotaan. Ketidakperdulian mereka, generasi muda keturunan Sunda pituin, itu jangan-jangan karena ketidakperdulian “kelompok” tertentu terhadap budaya Sunda. Ia hanya bangga bahwa dirumahnya tersimpan sejumlah naskah asli tentang kesundaan, dirinya memiliki kemampuan dalam bidang kebudayaan Sunda, tanpa memberi peluang yang lebar pada yang lain untuk menikmatinya, memanfaatkannya, mengetahuinya. Ia sadari bahwa apa yang dimilikinya dan ia simpan di lemari antiknya adalah milik semua orang Sunda, yang ditipkan leluhurnya melalui tangannya. Bila menggunakan term “penghianat bangsa” atau paling tidak “orang yang tidak perduli dengan budaya bangsanya”, siapakan diantara mereka yang merupakan “penghianat” atau “orang tidak perduli dengan budaya bangsanya”?

Tampaknya kita telah terbiasa untuk mencari kambing hitam dari kesalahan yang telah kita lakukan. Keterasingan dari budaya lokal, Sunda, yang dialami oleh generasi muda Sunda sering ditimpakan pada sistem pendidikan. Padalah sejad dahulu pewarisan budaya tidak pernah dilakukan melalui jalur pendidikan formal, melainkan melalui pendidikan sosial secara langsung. Dan, pendidikan sosial yang berkenaan dengan aspek-asepk informatif pada era modern sangat tergantung pada luasnya kesempatan orang untuk membaca dan menyimak, buka melalui tradi lisan saja. Kedewsaan berfikir masyarakat, seperti dialami oleh masyarakat Yunani Klasik yang telah melahirkan tradisi berpikir filsafat, terjadi tatkala budaya lisan beralih menjadi budaya tulisan. Yaitu, tatkala cetita mitos yang bersifat lisan beralih menjadi tulisan oleh tangan Homerus.
Dengan demikian, bila khazanah Sunda klasik hanya ada dilemari dan dalam ingatan segelintir orang , tanpa upaya untuk mensosialisasikannya melalui tulisan, maka jangan salahkan generasi muda bila ia tidak pernah mengenal sejarah bangsanya dan budaya bangsanya. Jangan-jangan ketidakpedulian pemegang pusaka Sunda tersebut adalah cerminan dari sikap “diam” para leluhurnya yang ditafsirkan secara salah, atau dengan cara yang berbeda. Hanya Tuhan yang tahu.
Selengkapnya...

Mengembara Bersama Sangkuriang

---

Sangkuriang ! Sing wayahna, Cape gawe teu kapake, Oleng panganten teu tulus, Lalayaran dibedokeun, Tuh, balebat geus marakbak, Ciri wanci enggeus beurang, Andika nya kabeurangan. SIKLUS kehidupan manusia yang digambarkan dalam mitologi, seperti halnya dalam jendre cerita rakyat lainnya, mengandung pesan tertentu. Pesan tentang intisari dan pencapaian kualitas kehidupan serta tingkat spiritualitas seorang individu. Mitologi yang dalam masyarakat Sunda lebih dikenal dengan sasakala merupakan cara nenek moyang masyarakat Sunda mewariskan kearifan tentang intisari kehidupan dan cara menjalaninya.

Terdapat banyak sekali sasakala atau mitologi yang dikenal dalam masyarakat Sunda, di antaranya Sasakala Tangkubanparahu yang memunculkan tokoh Sangkuriang. cerita yang mengisahkan perjalanan kehidupan seorang anak manusia untuk mencapai tingkat kehidupan spiritual yang tinggi. Sangkuriang merupakan salah satu tokoh yang paling banyak melahirkan pandangan stereotif dari siapa pun termasuk masyarakat Sunda sendiri.

Sangkuriang merupakan salah seorang tokoh yang paling ganjil di antara tokoh-tokoh mitologi yang dikenal dalam mitologi Sunda. Ia terlahir dari seorang perempuan (Dayang Sumbi) yang terlahir dari rahim seekor babi hutan. Lebih dari itu, ia pun (Sangkuriang) berbapakkan seekor anjing (Si Tumang) yang dibunuhnya pula. Sangkuriang pada akhirnya mati (menurut salah satu versi) dengan jalan bunuh diri mengikuti jejak ibunya yang dicintainya yang hendak dikawininya.

Dalam perspektif umum masyarakat Sunda, Sasakala Tangkubanparahu lebih dilihat sebagai gambaran tragedi kehidupan manusia. Ambiguitas kehidupan manusia yang berada dalam cengkraman hukuman Tuhan. Hukuman atas perilaku seorang raja yang melanggar etika kehidupan karena membuang hajat disembarang tempat: buang air ke dalam batok kelapa yang pada akhirnya diminum oleh seekor babi betina. Dosa yang kemudian harus pula ditanggung oleh anak cucunya.

Sasakala Tangkubanparahu merupakan salah satu contoh mitologi yang pesan kearifan tradisinya gagal dicerna oleh masyarakatnya. Mitologi ini pada akhirnya hanya mampu menceritakan asal mula kelahiran sebuah gunung dan cekungan Bandung, dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan manusia kecuali tentang perjalanan kehidupan seorang anak manusia yang durhaka pada orang tuanya. Tampak bahwa, pesan-pesan sasakala ini sedemikian naifnya dibandingakan dengan dinamika perjalanan kehidupan yang dijalani oleh manusia Sangkuriang.

**

KEARIFAN tradisi masyarakat Sunda buhun, seperti halnya kearifan tradisi masyarakat lainnya, memiliki sejumlah kemungkinan penafsiran. Seperti mengupas bawang, yang apabila kulitnya dikupas, kita akan menemukan kulit-kulit lainnya. Dan, apabila terus menerus kita kupas, kita akan sampai pada ruang kosong.

Bagi Sangkuriang, sang tokoh spiritualis, kehidupan merupakan misteri yang harus terus menerus diungkap. Karena, kehidupan bagi manusia Sangkuriang merupakan anugrah yang paling berharga. Misteri yang nilainya bukan terletak pada capaiannya dalam kehidupan, melainkan pada proses menjalaninya.

Pase pertama kehidupan yang mesti dijalani oleh Sangkuriang dalam memungut inti kehidupan untuk menjadi manusia sejati adalah apa yang diajarkan bapaknya untuk berburu. Berburu, adalah satu pola kehidupan yang paling paradoks dalam kehidupan. Satu sisi sang pemburu harus dekat dan akrab dengan alam. Dan di sisi lain, sang pemburu harus menjadi "pemangsa", mengontrol dan mengendalikan kehidupan yang lain, dan secara bersamaan mengontrol kehidupannya sendiri.

Sangkuriang mendapat seorang guru terbaiknya dalam berburu, bapaknya. Oleh karena itu sang bapak ini digambarkan sebagai seekor anjing. Ketika Sangkuriang dan bapaknya gagal dalam berburu itu menjadi tanda bahwa proses berguru kepada sang bapak telah selesai. Sangkuriang harus menemukan ilmu yang lebih tinggi lagi, karena ilmu berburu yang ia dapatkan dari bapaknya tidak lagi mencukupi. Untuk itu Sangkuriang harus melepaskan diri dari "ikatannya" dengan sang bapak. Dalam Sasakala Sangkubanparahu, digambarkan dalam proses pembunuhan: yakni ketika Sangkuriang membunuh bapaknya. Jantung sang bapak diberikan kepada ibunya sebagai tanda bahwa pelajaran dari bapaknya telah selesai, dan mereka memakannya bersama-sama. Intinya, bapak (disimbolkan dengan jantung) disatukan dalam dirinya dan menjadi unsur integral dalam darah yang mengalir dalam diri Sangkuriang. Dengan demikian, hubungan ayah-anak dalam kesadaran Sangkuriang tidak lagi sekadar hubungan biasa, melainkan hubungan yang bersifat kekal, mengalir dalam dirinya, Sangkuriang adalah Si Tumang, dan Si Tumang adalah bapak. Dengan demikian, "pembunuhan" merupakan "simbol" dari "simbol" prosesi penyatuan.

Tidak lama setelah Sangkuriang melepaskan diri dari asuhan bapaknya, ia pun pergi mengembara dan melepaskan diri dari asuhan ibunya. Dalam versi sasakala, Sangkuriang diusir ibunya karena telah membunuh ayahnya. Versi cerita tersebut bisa ditafsirkan bahwa lepasnya asuhan ayah atas anak, menjadi momentum untuk melepaskan ikatan dari ibunya. Sebelum kepergiannya, Dayang Sumbi (Sang Ibu) memberikan "tanda" di kepala Sangkuriang. Tanda yang diberikan melalui prosesi: "pukulan centong nasi" di kepala Sangkuring. Centong merupakan simbol dari masa dan media asuh Sangkuriang oleh ibunya. Bekas pukulan, menjadi tanda dan sekaligus "jalan hidup" yang menjadi awal dan sekaligus akhir (paradoks ruang-waktu, keabadian).

Pengembaraan Sangkuriang digambarkan dalam sejumlah upaya "penaklukan". Penaklukan dunia langit, dunia bawah bumi, lautan dan daratan. Dunia riil dan dunia kasat mata. Semua arah dan dunia dipusatkan dalam dirinya, untuk membangun diri yang "masagi": diri yang merangkum seluruh arah mata angin dan seluruh sudut realitas, dalam waktu yang bersamaan seluruh arah dan seluruh sudut realitas adalah Sangkuriang. Diri adalah pusat segalanya, dan segalanya adalah diri.

Setelah semuanya dapat ia kuasai, Sangkuriang sampai pada pase terakhir dari pengembaraannya, yaitu menemukan kembaran dirinya: awal dan akhir dirinya. Untuk mencapai kesempurnaan diri sebagai diri yang benar-benar masagi, Sangkuriang harus menemukan pusat diri (pancering diri) sehingga membentuk apa yang orang Sunda sebut sebagai papat kalima pancer.



Dalam pencarian akhir ini Sangkuriang menemukan seorang perempuan. Dengan perspektif awal, Sangkuriang berusaha "menyatu" dengan kembaran dirinya dengan cara menguasainya, sebagaimana ia menguasa dunia dan realitas lainnya.

Sementara itu Dayang Sumbi, perempuan itu, tidak pernah bisa ia kuasai, karena memang bukan untuk dikuasai. Karena menemukan jejak keabadian di kepala Sangkuriang, Dayang Sumbi akhirnya tahu bahwa laki-laki yang dihadapinya bukanlah laki-laki sembarangan. Laki-laki yang telah memiliki tingkat pengetahuan yang sangat tinggi yang sedang menapaki makom akhir dari perjalanan spiritualnya. Namun, karena masih terdapat kecenderungan untuk menguasai yang merasuk dalam diri Sangkuriang, Dayang Sumbi itu mengajukan dua hal yang harus dilakukan oleh Sangkuriang untuk menyempurnakan prosesi penyatuan, prosesi yang menjadi pintu masuk makom akhir perjalanan spiritual. Laku yang harus dilakukannya di malam hari dan hanya dalam satu malam, serta harus selesai sebelum keluar balebat, pertanda hari menjelang siang. Yaitu, ngabendung Sang Hyang Tikoro untuk membuat "talaga", dan membuat sebuah perahu untuk melakukan prosesi pengantenan, menyatukan kembara diri.

Malam adalah ruang-waktu primordial yang menyatukan kesucian bumi-langit (feminimitas-maskulinitas), dan siang adalah waktu dunia. Balebat adalah waktu antara yang ada dalam imaji manusia. cahaya yang terlahir dari batas kemampuan manusia untuk menerobos batas-batas pandang untuk menangkap cahaya sejati, kebenaran hakiki. Sanghiyang Tikoro adalah pintu yang membatasi antara nafsu, ego, dengan kearifan batini. Dan perahu adalah kendaraan kehidupan yang memberi kemungkinan kepada manusia untuk berlayar dalam kehidupan sehingga terhindar dari kemungkinan untuk tenggelam dalam "sagara" kehidupan yang penuh dengan penderitaan dan tipuan.

Masih dengan perspektif awal, persyaratan dari Dayang Sumbi (sang perempuan) dimaknai dalam lapis permukaan. Yang Sangkuriang lakukan bukan seperti apa yang Dayang Sumbi maksudkan. Sebagai manusia yang telah berhasil menangkap pelajaran dari pengalaman dunia nyata, ia hanya mampu mengupas kulit pertama dari kulit bawang
kehidupan. Untuk mengupas kulit yang lebih dalam matanya menjadi pedih dan pandangan menjadi buram bahkan tidak lagi bisa melihat.

Dengan seluruh "kesaktian" dan pengetahuannya Sangkuriang membendung Sungai Citarum dan membuat sebuah perahu, dalam satu malam. Namun atas jerih payahnya, Dayang sumbi berujar : Aeh-aeh, naha silo Kabobodo ku panenjo.

Untuk menyempurnakan perjalanan dalam menemukan diri yang sejati, manusia Sangkuriang (Sang Kuring, Si Aku) harus menemukan kembaran diri yang menghubungkan antara masa lalu, masa kini dan masa depannya: menegaskan tanda di kepala yang menjadi penunjuk arah jalan kehidupan, meyempurnakan lingkaran primordial dalam dirinya. Dan, untuk itu ia harus membendung Sang Hyang Tikoro dan membangun sebuah perahu untuk berlayar menuju Asal Diri Nu Sajati. Bukan dengan menguasai sesuatu yang ada di luar dirinya, akan tetapi "menguasai" apa yang ada dalam dirinya. Menyibakkan balebat yang menipu dan menyilaukan pandangan. Membangun bendungan pertahanan dalam diri dari terjangan derasnya air kehidupan dunia, dan membangun pijakan kehidupan yang kokoh untuk mengarungi telaga kehidupan yang penuh gelombang dan godaan, yang memungkinkan memisahkan kembali kembara diri yang sejati.

Namun, kehidupan dunia ini memang bukan panggung selamanya berakhir dengan kesuksesan, walau pun bukan berarti tanpa jalan keluar yang lain. Kesalahan Sangkuriang dalam memaknai kata-kata Dayang Sumbi, karena ia terjebak oleh cara pandang "duniawi"; mengharuskannya mengambil jalan penyelesaian paling sulit. Bukan lagi dengan membendung Sang Hyang Tikoro, akan tetapi dengan memisahkan antara raga badag dengan ruhaninya. Laku yang akhirnya ia jalani seperti apa yang dilakukan Dayang Sumbi.
Selengkapnya...

Kurban, ”Ngaruat” Kebersamaan Manusia-Binatang

---

BANYAK hal yang membedakan antara manusia dengan binatang. Entah karena itu atau sebab lain, tak ada seorang manusia pun yang mau dan berhasrat untuk disamakan atau dianggap sama dengan binatang. Padahal, tidak sedikit yang mendefinisikan manusia; merujuk pada genus manusia sebagai binatang, bahkan tidak kalah radikal ada pula yang mengatakan bahwa manusia berasal dari salah satu binatang. Lebih dari itu, tidak jarang sistem keyakinan tertentu yang berkeyakinan bahwa manusia (etniknya) berasal dari binatang (fetisisme), walaupun kemudian keberadaan sosok binatang itu lebih disikapi sebagai sebuah "simbol archaic". Benar atau salah definisi, teori dan keyakinan itu, tak ada yang tahu persis. Terlepas dari itu semua hampir semua orang, supaya tidak terlalu radikal, sepakat bahwa manusia secara umum memiliki sifat-sifat kebinatangan. Sifat yang dipersepsi sebagai unsur negatif yang dimiliki manusia yang harus dijauhi dan dibuang habis.

Kehadiran agama, kebudayaan, filsafat, spiritualisme dan ajaran atau gerakan pemikiran sejenis pada umumnya dimaksudkan untuk menggerus unsur-unsur atau sifat-sifat kebinatangan pada manusia. Secara apriori manusia meletakkan unsur dan sifat-sifat binatang sebagai something beyond human and humanity. Bahkan, dalam perspektif positivisme yang melahirkan metode ilmiah modern (sains modern) dan peradaban modern, bukan hanya unsur binatang yang berusaha untuk dinafikan dari diri manusia, lebih dari itu alam pun dicerabut dari diri manusia, sehingga manusia menjadi subjek otonom yang terpisah dari apa pun yang bukan dan tidak identik dengan manusia.

Tidak ketinggalan dunia sastra dan seni (dalam berbagai genre) pun melakukan hal yang kurang lebih sama. Album Pink Floyd yang berjudul The Animals (1977) yang konon terinspirasi oleh novel karya George Roger Waters yang berjudul Animal Farm, yang menggunakan "binatang" sebagai icon sikap dan sifat manusia yang tidak manusiawi. Dalam dunia sastra Indonesia, cerpenis Kuntowijoyo dalam Anjing-anjing Menyerbu Kuburan menggandengkan manusia yang "menghalalkan segala cara" untuk mendapatkan kekayaan dengan binatang-binantang: anjing dan manusia secara bersama-sama menyerbu kuburan. Di sisi lain, tidak jarang pula yang menjadikan binatang sebagai sosok yang sarat dengan nilai-nilai "keluhuran kemanusiaan" ("keluhuran kebinatangan?"), paling tidak dalam film-film animasi dan dongeng-dongeng fabel.

Ironi bahkan mungkin tragedi, itu yang bisa kita katakan, ketika kehidupan manusia digambarkan dalam wujud dan perilaku binatang. Dalam dunia mitik, manusia-manusia yang hidupnya "dipertuhan" oleh harta dunia dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya, ia merelakan dirinya untuk melakukan pemujaan terhadap iblis yang konon berwujud binatang: babi, monyet, ular dan lain sebagainya. Kenekatan, yang konon harus ditebus dengan perubahan wujud dirinya (pemuja iblis ini) menjadi wujud yang dipujanya ketika mati menjemput, dan sampai kiamat menjelang ia akan menjadi budak sang iblis yang dipujanya. Percaya atau tidak , tak perlu Anda buktikan. Iblis dan manusia punya ulah, binatang yang dinistakan. Bahkan, kemudian tidak jarang yang beranggapan atau menggambarkan bahwa sejumlah binatang merupakan perwujudan dari iblis.

Ketika melakukan kritik (tepatnya sindiran atau ejekan) terhadap manusia yang rakus sebagai manusia yang tidak manusiawi, dan disejajarkan atau lebih rendah dari binatang. Karena, konon binatang yang paling buas sekalipun hanya makan ketika ia lapar dan hanya makan sampai ia merasa kenyang. Berbeda dengan binatang, manusia tidak hanya memakannya sampai kenyang ia pun menumpuk apa pun yang bisa ia bawa atau dapatkan, kalau perlu dunia ia lipat dan masukkan ke dalam dompetnya. Bukan lagi sifat binatang yang ia miliki. Sebuas-buasnya binatang tak pernah ia berangan-angan dan berusaha untuk memiliki apa pun yang ia temukan. Hanya manusia yang memiliki hasrat demikian, untuk memiliki. Binatang hanya berusaha untuk menjalani hidup sebagaimana adanya, hanya manusia yang berusaha untuk memiliki kehidupan ini. Kalau perlu ia bersaing dan merebutnya dari Tuhan untuk memiliki dunia ini beserta isinya, atau kalau bisa (kalau perlu) menjadi tuhan. Andai benar bahwa salah satu capaian tertinggi dari perjalanan spiritual yang dilakukan para Sufi dan pengikut thariqat ketasawufan adalah hilangnya perasaan memiliki karena hanya Allah pemilik segala sesuatu termasuk jiwa dan kehidupannya; tampaknya manusia harus banyak belajar dari binatang.

**

BILA kita sejenak merenung dan berlaku jujur, betulkah sifat-sifat binatang itu sedemikan hina dan negatif untuk kita sandang, sehingga karenanya kita merasa perlu menghabiskan banyak energi dan usia kita untuk membuang dan mengelimasinya dari diri dan kehidupan kita? Dan, setelah sekian lama kita bergulat dalam perjuangan menguliti sifat-sifat binantang dari diri kita, manusia, sudahkah kita berhasil melakukannya? Atau malah dengan itu manusia kehilangan sifat kemanusiaannya, bukan kebinatangannya!

Aneh memang, semakin kita caci dan kutuk sifat-sifat binatang dalam diri kita dan orang lain, semakin kita akrab dengan kehidupan yang sarat dengan sifat-sifat itu. Apa pun yang kita lakukan dan usahakan, malah semakin menegaskan kebinatangan kita. Padahal binatang pun tak seganas dan tidak sebiadab yang kita (manusia) lakukan. Dahulu kala, ketika dunia ini dihuni oleh berbagai jenis binatang dengan ukuran "raksasa" sejenis dinosaurus, selama jutaan tahun, dan tentunya lebih ganas dari binatang yang kita kenal sekarang tidak diceritakan alam menjadi rusak karena ulah mereka. Akan tetapi, ketika manusia menghuni bumi ini, dengan hanya beberapa periode peradaban saja (primitif, tradisional dan modern) bumi yang kita huni ini mengalami kerusakan yang sangat parah. Bila manusia dikategorikan sebagai binatang atau memiliki sifat binatang, binatang jenis apa sesungguhnya manusia itu?

**

KONON, dalam tradisi agama-agama Semit, tak ada seorang Nabi dan Rasul pun yang bukan pengembala binatang ternak. Mereka tidak kehilangan kearifannya karena kedekatannya dengan binatang-binantang itu. Bahkan, mungkin, mereka belajar kearifan, ketaatan dan kesahajaan dalam (dari) kedekatan mereka dengan binatang-binatang yang mereka gembalakan (?). Mereka, para Nabi dan Rasul, begitu telaten dan penuh kasih sayang dalam memelihara dan menjaga gembalaannya dari ancaman serigala atau pemangsa lainnya yang juga binatang, sebagaimana mereka menjaganya dari ancaman para pencuri dan para perompak, yang tentunya manusia. Lebih dari itu, salah satu ciri kemuliaan yang Allah anugerahkan kepada Nabi Sulaiman adalah kemampuannya dalam memahami bahasa dan berdialog dengan binatang.

Alquran lebih banyak menggambarkan binatang sebagai amsal yang mengedepankan sisi baik, seperti semut, lebah, burung, ikan, dan lain sebagainya. Bila kemudian Allah mengingatkan bahwa manusia memiliki kelebihan dari binatang, tapi bukankah Allah pun mengingatkan bahwa manusia bisa lebih rendah dari binatang? Itu tidak berarti bahwa manusia harus menghinakan dan menafikan keberadaan binatang. Dan hanya sedikit orang yang merasa cukup diri untuk bersanding dan merasa berada di atas para malaikat. Manusia menjadi lebih tinggi dari para binatang bahkan dari para malaikat sekalipun, karena ia dianugerahi akal dan nurani; jatuh lebih rendah dari binatang ketika anugerah itu diabaikannya.

Di antara kelompok manusia yang dimuliakan di sisi Allah, selain para nabi dan Rasul-Nya adalah para aulia-Nya. Diduga, di antara para aulia itu adalah sekelompok orang yang kita sebut kaum Sufi. Dan mereka tidak pernah merasa rendah diri untuk membuat amsal binatang untuk mewakili diri mereka dalam menceritakan perjalanan dan pengalaman spiritualnya dalam mencari kebenaran, Allah. Sebut saja Fariduddin Athar dalam Mantiquth-Thair (Parliament of the Birds, Musyawah Burung), yang menjadikan burung-burung sebagai penjelmaan manusia-manusia yang demikian merindukan untuk bertemu dengan Raja para burung yang misterius, Simugh. Tak kurang Muhammad Iqbal, filosof dan penyair Muslim, dalam syair-syairnya menjadikan binatang, khususnya burung Rajawali, sebagai amsal bagi manusia sempurna (Insan Kamil).

**

IBADAH Kurban yang menjadi salah satu peristiwa besar dalam ritual agama Islam yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail, mungkin merupakan gambaran yang paling representitatif tentang kedudukan dalam perjalanan kehidupan manusia di bumi. Apa yang dilakukan Ibrahim dan Ismail sering digambarkan sebagai pengorbanan tertinggi yang pernah dilakukan manusia.

Ketika pedang Ibrahim mulai mengiris kulit leher Ismail, putranya yang ia cintai dengan seluruh jiwa raganya, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba yang sangat sehat dan gemuk. Mungkinkah Allah menggantikan jiwa Ismail yang sangat Ibrahim cintai dan Allah pun mencintainya dengan pengganti yang lebih berharga dari sebelumnya? Atau sesuatu yang sifat-sifatnya terasa demikian hina itu, dibuang-Nya dan digantikan-Nya dengan sifat-sifat mulia? Atau, apakah memang Tuhan bermaksud menguji Ibrahim untuk mengurbankan sesuatu yang paling dicintainya di dunia ini dengan pengganti (balasan) yang tidak setara. Tapi, pernahkah dan mungkinkah Tuhan membalas pengorbanan (ketaatan) hambanya dengan sesuatu yang tidak sebanding? Wallahu'alam.***
Selengkapnya...