Thursday, October 04, 2007

Wednesday, September 19, 2007

Membangun Efistem Budaya Sunda: Mega Proyek yang belum selesai

---

Upaya Menelisik Akar Runtuhnya Budaya Sunda

Drs. Ahmad Gibson Al-Bustomi, M.Ag.

Kebudayaan, dalam berbagai bentuknya, merupakan kristalisasi dari cara berpikir suaru masyarakat. Dan, cara berpikir sutau masyarakrat merupakan akumulasi dari noktah-noktah pengalaman sejarah yang dilaluinya, yang terus menerus mengalami perubahan dan sarat dengan proses evaluasi. Setiap proses sejarah kebudayaan senantiasa menyisakan debu-debu anomali disamping produk unggulan yang menjadi ciri dari suatu pase kebudayaan tertentu yang nantinya menjadi identitas dari suatu pase peradaban tertentu. Dalam konteks itulah, setiap masyarakat bangsa dengan kebudayaannya akan senantiasa berhadapan dengan problematikanya masing-masing.

Problematika budaya dalam masyarakat Sunda, seperti halnya masyarakat Indonesia pada umumnya, adalah adanya indikasi proses pengasingan atau peminggiran (marginalisasi) kebudayaan dan tradisi lokal oleh masyarakat etniknya sendiri. Hal ini lebih terasa terjadi di perkotaan, dan secara perlahan namun pasti hal yang sama terjadi di pelosok dan pedesaan.
Proses marginaliasi bahkan hilang dan matinya sebuah kebudayaan memang merupakan hal yang lumrah terjadi, akan tetapi bila kita melihat percepatan proses yang terjadi di Indonesia, khususnya yang dialami kebudayaan Sunda, terjadi dalam waktu yang relatif cepat dan terjadi secara bersamaan dalam berbagai seginya. Akhirnya, kini tradisi dan kebudayaan tradisional Sunda hanya tinggal sebagai tontonan dan “kalangenan”, serta sebagai bukti historis masa lalu etnik Sunda. Dalam dimensi ekonomis, tradisi dan kebudayaan tradisonal kini hanya sebagai asset wisata.
Entitas kebudayaan, dengan segala aspeknya, sebagai indikasi dari keberadaan suatu bangsa (etnis) tidak bisa begitu saja dinafikan dan dianggap sepele. Karena, kebudayaan dan tradisi merupakan soko-guru dan sumber referensial bagi kepribadian masyarakat bangsa atau etnik tersebut. Etnik Sunda, sebagaimana etnik dan bangsa lainnya di dunia, mengalami sejarah pertumbuhan dan perkembangan. Salah satu unsur dari entitas kebudayaan adalah sistem pengetahuan, yang secara langsung membentuk cara pandang masyarakat tersebut terhadap diri, dan dunianya. Cara pandang ini sekaligus menjadi suatu sistem keyakinan tentang “kebenaran sejati”. Suatu paradigma yang menentukan cara berpikir, bertindak dan berkreasi.
Sistem pengetahuan dan keyakinan, sebagai suatu sistem paradigma, selalu mengalami perubahan secara bertahap dan bersifat sinergis. Perubahan yang selalu sarat dengan proses evaluasi sesuai dengan tuntutan perkembangan dan tantangannya. Persoalannya adalah bagaimana prosesi perubahan itu terjadi? Dan bagaimana peran sistem pengetahuan awal (budaya dan tradisi lokal) berperan dalam prosesi perubahan itu; Dan bagaimana posisi budaya baru dalam prosesi perubahan itu.
Bila kita menggunakan teorema C.A. van Peursen tentang pase-pase perkembangan budaya yang mempetakan perubahan kebudayaan suatu bangsa, ia membagi pase perkembangan budaya itu dalam tiga babak (hingga budaya modern tentunya). Yaitu, pase mitis, ontologis dan fungsional. Van Peursen mempetakan perkembangan budaya tersebut berdasar pada pola relasi manusia (S, Subjek) dengan dirinya dan dengan lingkungannya (O, Objek). Pola relasi terbuka, tertutup dan partisipatif.
Seperti halnya masyarakat bangsa lainnya di muka bumi, masyarakat etnik Sunda pun mengalami perubahan dengan tahapan yang kurang lebih sama. Kebudayaan Sunda, bila melihat catatan sejaran kebudayaan yang kita miliki dan terima, dibangun di atas paradigma mitis yang cukup kaya dan juga sangat mengakar. Hal ini, seperti dijelaskan van Peursen, ditandai oleh tidak adanya garis pemisah yang jelas dan tegas antara manusia dan dunia, antara subjek dan objek. Masyarakat Sunda, sebagai individu, masih merupakan sebuah lingkaran yang terbuka, belum memiliki “eksistensi” yang bulat. Masyarakat Sunda masih diresapi oleh kekuatan lingkungan sosial dan alam raya.
Terdapat persoalan mendasar berkenaan dengan term “eksistensi manusia” yang digunakan dalam teorema van Peursen ini. Karena, disadari atau tidak van Peursen pun pada akhirnya termakan oleh asumsi modern tentang apa yang dimaksud dengan “individu yang bulat”, eksistensi. Yaitu individu “dewasa” yang telah memiliki kesadaran penuh untuk mandiri dan terlepas dari kungkungan dan tekanan sosial dan alam raya dalam menentukan identitas dirinya. Sementara dalam tata pikir “tradisional” pada umunya, yang disebut sebagai individu yang bulat adalah justru ketika ia berada dalam relasi yang lengkap dengan masyarakat, alam raya, kekuatan-kekuatan supra natural dan atau Tuhan. Hal ini bisa kita lihat dalam prinsip, “papat kalima pancer”. Manusia yang telah samapai pada tingkat kesempurnaan dalah manusia yang telah membangun relasi antara dirinya, alam raya serta kekuatan-kekuatan supra natural dan atau Tuhan. Hal ini dapat kita lihat dalam mitos-mitos tentang perjalanan prosesi perjalanan hidup manusia dalam mencapai kesempurnaan hidup. Hal ini dapat dilihat dalam mitos Lutung Kasarung, mitos Mundinglaya Di Kusumah, mitos Sangkuriang dan lain sebagainya.
Prinsip ini didasarkan pada asumsi tentang mikro dan makro kosmos. Pengembaraan dalam makro-kosmos tak jarang disikapi sebagai pengembaraan dalam diri (mikro-kosmos), penguasaan alam (makro kosmos) senantiasa diawali dengan penguasaan diri (mikro-kosmos). Diri (mikro-kosmos) selalu menjadi awal perjalanan dan sekaligus akhir perjalanan, itulah yang disebut dengan menemukan diri sendiri. Begitu juga, perjalanan dalam diri, selalu dimanipestasikan dalam bentuk perjalanan di alam raya (makro-kosmos).
Ketika budaya Sunda berinteraksi dengan kebudayaan dan sistem keyakinan (agama) lain dari luar: Hindu, Budha, dan Islam; budaya Sunda mengambil peran dinamis dalam proses pertemuan sistem nilai itu. Secara khusus dalam proses pertemuannya dengan Hindu dan Budha. Akan tetapi ketika terjadi pertemuan dengan sistem nilai Islam dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama (dibandingkan dengan prosesi pertemuan dengan sistem nilai Hindu dan Budha), karena tiba-tiba harus pula berhadapan dengan tekanan dari penaklukan Mataram dan kolonialisme Barat, tata pikir pikir modern dan gerakan pemurnian Islam, prosesi budaya itu mengalami kemacetan. Hambatan yang dialami dalam interaksi budaya Sunda-Islam sangat terasa ketika terjadi gerakan pemurnian Islam yang dicikan oleh kecenderungan proteksi yang radikal terhadap adanya internalisasi budaya lokal terhadap pemikiran (tafsir) keagamaan. Kecenderungan tekstual dari pemurnian Islam seolah-olah menutup seluruh kesempatan bagi terjadinya dialog pemikiran Islam dan sistem nilai lokal (budaya Sunda). Persoalan-persoalan tersebut hampir menghabiskan seluruh konsentrasi masyarakat Sunda terhadap proyek-proyek budaya, sehingga mengalami kemacetan yang cukup berarti.
Secara kultural, dalam proses awal pertemuan sistem nilai budaya Sunda dan sistem nilai Islam yang dilakukan oleh para penyebar Islam awal (para Wali), relatif berhasil. Hal ini dikarenakan para wali memberikan apresiasi positif terhadap keberadaan budaya lokal sunda, bahkan dijadikan modal dasar bagi prosesi pertemuan kultural tersebut, baik dalam aspek sistem nilai keyakinan maupun aspek budayanya.
Dalam analisa teorema strategi kebudayaan van Perseun, dapat dilihat bahwa proses peralihan dari relasi budaya mitik ke realasi ontologis yang dipelopori oleh para penyebar Islam awal yang dinakhodai oleh Sunan Gunung Jati. Sistematika efistem filsafat (Islam) dalam genre metafisika-sufistik, secara sistemtik telah mampu menjembatani pertemuan sistem pengetahuan dan efistem Sunda dengan sistem pengetahuan dan efistem Islam, walau pun belum bisa dikatakan telah selesai. Pase awal ini baru berhasil membangun dasar-dasar efistem yang mempertemukan kedua sistem pengetahuan tersebut: sistem pengetahuan Sunda-Islam. Suatu sistem pengetahuan yang apabila dilihat dalam tatapikir keagamaan secara radikal, dilihat sebagai suatu sistem pengetahuan sinkretis yang berbau “bid’ah”.
Ketika masyarakt Sunda sedang serius menggarap mega proyek filosofis yang harus disebut belum selesai ini, tiba-tiba masyarakat Sunda harus banting setir menghadapi tekanan hegemoni budaya Mataram di Tatar Sunda yang dicirikan oleh upaya peralihan pusat budaya ke timur, Mataram. Mereka “dipaksa” untuk menggunakan tatapi pikir mitis dan ontologis ala Mataram (Jawa)-Islam yang dibangun oleh delapan wali penyebar Islam lainnya. Paradigma yang “mengikis habis” fondasi efistem budaya Sunda termasuk fondasi efistem budaya Sunda-Islam yang dibangun oleh penyebar Islam di tatar Sunda, khususnya di wilayah Priangan. Bagaimana tidak disebut “dikikis habis” bila bahasa sebagai salah satu ciri paling mendasar dari suatu bangsa (etnik) mengalami goncangan luar biasa. Keberhasilan projek efistem yang dibangun oleh para perintis dan para ulama serta budayawan Sunda dan Sunda-Islam mengalami titik nadir kematiannya.
Peralihan arah angin ini membuat kebuadayaan Sunda berdiri tertatih-tatih ketika berhadapan dengan perubahan dan tekanan yang demikian keras. Berkenaan dengan hegemoni dan peralihan pusat budaya ini, Mikihiro Moriyama, mencatat “Bukan hanya ranah kesenian, tepi juga administrasi pemetintahan, gaya hidup, dan bahasa yang terkena dampaknya: selama hampir dua ratus tahun kesusastraan Sunda berkembang menurut etika Jawa. Contoh yang paling jernih adalah bentuk sajak yang dalam wilayah penuturan bahasaSunda disebut dangding, yang diadaptasi dari tembang macapat”. Yang terakhir ini, dapat kita temukan dalam kesenian Cianjuran yang kini menjadi bagian integral dari kebudayaan masyarakat Sunda, bukan hanya kebudayaan masyarakat Cianjur. Sulit dipastikan, apakah kelahiran seni tradisi Cianjuran harus disikapi sebagai keberhasilan budayawan Sunda untuk terus eksis dan berkreasi, atau malah sebagai gambaran paling jelas dari hilangnya soko guru kebudayaan Sunda di rumahnya sendiri. Fenomena yang tentunya sangat debatable.

Pada kondisi ini, budaya Sunda mengalami proses marginalisasi bahkan alienasi oleh bangsa (masyarakat)-nya sendiri, terutama oleh sejumlah bangsawan (priyayi) yang nota bene orang Sunda. Suatu kondisi seperti yang digambarkan dalam legenda Dalem Boncel, yaitu anak yang melupakan dan tidak mengakui keberadaan ibunya (asal-usul primordialnya, sistem nilai dan budaya Sunda ).
Kebudayaan adalah bayang-bayang tubuh bagi seorang manusia, yang selalu mengikutinya kemana pun tubuh itu pergi, tidak pernah terpisahkan. Kini orang Sunda dengan kebudayaannya duduk berhadapan sebagai sosok yang tidak saling mengenal, seperti seorang yang baru pertama kalinya bercermin, ia merasa asing dengan gambaran wajah dan tubuh yang terpampang di kaca cermin, di depannya.
Apa yang terjadi dengan kebudayaan Sunda dengan orang Sundanya, adalah sebuat tragedi kultural sekaligus sebagai tragedi kemanusiaan akut. Tragedi kebudayaan yang disebabkan oleh tidak tuntasnya prosesi peralihan pase budaya yang semestinya dilewati, dari satu pase ke pase selanjutnya (kamalangkem). Dalam kasus budaya Sunda, pase budaya yang tidak dilewati secara mulus adalah pasa pase ontologis. Pase yang memungkinkan lahirnya tradisi filosofis, yang secara efistemologis menjadi fondasi bagi terjadinya dialog atau partisipasi logos (tradisi rasional-filosofis) dengan mitos.
Pada abad ke-19, pernah ada seorang tokoh yang kembali berusaha untuk mengulang pase ontologis yang dilakukan oleh para pendahulunya. Ia seoarang Kyai, budayawan dan sekaligus priyayi, yaitu Penghulu K.H. Hasan Mustapa, yang melanjutkan sejumlah upaya yang dilakukan oleh pendahulunya, yaitu budayawan dan Penghulu K.H. Mochammad Musa. Dengan modal pengetahuan budaya yang dikenal baik oleh masyarakat Sunda, serta pengetahuan ilmu-ilmu keislaman yang ia dapatkan selama di tanah suci Mekah, Hasan Mustapa merumuskan suatu sistem filosofi dan efistem yang memungkinkan dijadikan landasan filosofis bagi kebudayaan Sunda. Suatu kerja raksasa yang tidak bisa dianggap ringan, apalagi dilakuakn sendirian. Sangat disayangkan bahwa karya filsafat itu hanya tersimpan sebagai khazanah mistik.
Hasan Mustapa, dalam naskah Sasaka Di Kaislaman, merumuskan kerangka efistem Sunda dengan menggambarkan relasi individu manusia sebagai suatu sosok yang senantiasa melakukan dialog Subjek-Objek, baik dengan dirinya sendiri, dengan lingkungan sosial dan alam serta dengan segenap sistem nilai yang hadir dalam masyarakatnya, dalam usahanya untuk mencapai kualitas individu yang sempurna, Insan Kamil; yaitu sosok individu yang : “sampurna taya kakurang, lantaran ngala sorangan ku pitulung Ahadiyat, jatnika ku sangsarana”. Kesadaran ini dicapai ketika seluruh penginderaan, pikiran, perasaan, dan rasa menyatu dalam “rasa sajati ning rasa”, yaitu ketika “rasa” manusia bersatu dengan rasa Tuhan. Dalam istilah Hasan Mustapa kondisi demikian muncul dari kedekatan aing dengan Tuhan dalam relasi partisipatif, ngadu rasa pada rasa.
Ala kuli hal, dalam konteks ini, dengan tulisan ini penulis ingin mengatakan bahwa upaya-upaya untuk kembali merumuskan suatu sistem efistem budaya, merupakan salah satu kemungkinan yang bisa dilakukan oleh elite intelektual Sunda untuk kembali membangun dan menghidupkan kebudayaannya, sehingga budaya Sunda kembali menjadi Tuan Rumah di Rumah sendiri. Selengkapnya...