Tuesday, April 25, 2006

LAUTAN-MU

---

LAUTAN-MU

Kenapa ingin menjadi lautan,
Bila sungai-sungai kau tolak,
Ia mengunjungimu tanpa henti

Kenapa ingin menjadi lautan,
Bila daratan kau napikan
Ia ada dalam dirimu yang mencuat ke permukaan

Kenapa ingin menjadi lautan,
Bila gelombang kau hempaskan
Ia menjadikanmu ada di setiap tempat

Kau ditakdirkan untuk ada di mana pun,
Tujuan hanya kata yang tidak pernah ada
Kalau pun kau mengalir
Kau selalu berputar dalam diri
Diri dalam semuanya
Semua tanpa bilangan

Gibson
Babakan Sophia, 5 November ‘03 Selengkapnya...

Tuesday, April 18, 2006

Ki Sunda, sundek

---

Ki Sunda, sundek ?


Ahmad Gibson Al-Bustomi


Ki Sunda tutung buntut”, ungkapan yang barang kali bisa menggambarkan keadaan inohong Sunda kiwari, baik dari kalangan muda Sunda maupun dari kalangan tua. Keadaan yang menggambarkan prilaku yang merupakan representasi dari perasaan-perasaan kesal, marah, sedih, dan khawatir, serta perasaan lainnya yang berkecamuk dalam dada mereka, melihat keadaan kumna urang Sunda yang hare-hare dengan nasib seke-seler dan warisan budaya karuhun etnik Sunda. Perasaan yang tidak jarang dekat-dekat pada situasi emosi yang cenderung “peka”, mudah tersinggung, gampang marah, dan tidak jarang kehilangan kontrol akal sehat.

Ada sebagain orang Sunda yang meresa khawatir dengan kelangsungan Ki Sunda, sehingga terucap ungkapan bahwa Ki Sunda sedang sekarat, hampir punah, dan lain sebagainya. Dan, ada pula yang bersikukuh bahwa Ki Sunda tidak akan pernah punah dari muka bumi. Bila kita simak secara daria (mendalam), tampaknya kita bisa sepakat bahwa kedua ungkapan (pendapat) yang tampaknya saling bertentangan tersebut sama-sama terlahir dari kecintaan mereka terhadap Sunda, baik Sunda sebagai fenomena fakta sejarah, sebagai fakta budaya dan nilai (ajen-inajen) budaya, etnik, dan apa pun yang berhubungan dengan Ki Sunda.

Fakta bahwa Ki Sunda sedang mengalami masa pasang surut (sakarat) tampaknya bukan hal yang perlu diperdebatkan, hal tersebut dirasakan oleh sejumlah inohong Sunda. Demikian juga fakta bahwa Ki Sunda sedang mengalami proses kebangkitan, itu pun tidak bisa dipungkiri. Lalu, bagaimana dua peristiwa (pasang surut dan kebangkitan) bisa terjadi secara bersamaan? Hal ini sebernanya bukan hal yang terlalu sulit untuk dimengerti, bagi yang mengerti hukum sejarah. Bahwa, masa-masa kebangkitan selalu berada secara bersamaam pada titik dimana titik kulminasi kemerosotan suatu bangsa terjadi. Demikian juga sebaliknya, titik kulminasi kemajuan senantiasa berada secara bersamaan dengan era kemunduran. Tinggal persoalannya, bagaimana kita menentukan titik keberangkatan kita dalam melihat persoalan tersebut. Sehingga, kita bisa mengatakaan apakah kita (Ki Sunda) sedang berada dalam titik kemunduruan atau titik awal kebangkitan. Dalam posisi ini sikap pesisimis atau pun optimis dalam melihat nasib Ki Sunda tetap memiliki nilai tambah (positif). Sikap optimis paling tidak akan melahirkan dan membangun semangat (spirit, roh) Ki Sunda dalam menghadapi berbagai tantangan di masa kini dan masa depannya. Dan, sikap pesimis akan melahirkan kehati-hatian (taki-taki) dan senantiasa melakukan evaluasi terhadap perkembangan apa pun yang dialami oleh Ki Sunda. Kedua sikap tersebut tentunya akan positif sejauh kita melihat apa pun secara positif pula. Sikap optimis demikian juga sikap pesimis yang berlebihan dalam melihat apa pun, khususnya menerawang Ki Sunda, tidak bisa dikatan baik dan positif.

Menghangatnya wacana tentang adanya indikasi Ki Sunda menghadapi masa-masa sekarat, bila penulis tidak salah, bermula dari hipotesa yang dilemparkan Ajip Rosidi, salah seorang imam madzahab pemikiran kesundaan kiwari, tentang kemungkinan matinya bahasa Sunda. Hipotesa yang didasarkan dan didukung oleh fakta berkurangnya apresiasi masyarakat Sunda (urang Sunda) dan keengganan mereka menggunakan bahasa Sunda. Kekhawatiran yang kurang lebih sama, dengan asumsi yang sedikit berbeda (?), juga diungkap inohong Sunda generasi pertengahan abad 19, Moehamad Moesa, tentang keadaan sakitnya bahasa Sunda, yang disebabkan oleh banyaknya serapan bahasa Arab dan Melayu ke dalam bahasa Sunda. Lalu, apa hubungannya sakit yang dialami bahasa Sunda dengan keadaan Ki Sunda secara keseluruhan?

Nasib bahasa Sunda di masa penjajahan Mataram dan Belanda secara lebih lengkap diungkap Mikihiro Moriyama dalam tulisannya (disertasi) “Discovering The Language and The Literature of West Java: An Introduction to The formation of Sundanese Writing in 19th century West Java” yang merupakan bab awal dari disertasinya yang berjudul “A New Spirit: Sundanese Pulishing and the changing Configuration of Writing in Nineteenth-Century West Java”. Disertasi itu kini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan Judul Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesusastraan Sunda Abad ke-19, bagian tulisan itu pun pernah dimuat dalam Jurnal Dangiang. Berdasarkan tulisan tersebut yang mengungkap berbagai data dan sumber sejarah, dapat dikatakan bahwa awal melorotnya dangiang atau kharisma bahasa Sunda dalam masyarakat Sunda diawali oleh rendahnya apresiasi (penghargaan) para priayi dan kalangan ningrat Sunda jaman pendudukan Mataram di tanah Sunda yang berlanjut pada masa pendudukan belanda. Mereka (para priayi) lebih senang dan lebih merasa terhormat bila menggunakan bahasa Jawa, khususnya dalam surat-menyurat. Fenomena yang (mungkin) juga dapat dianggap sebagai penyebab atau akar lahirnya undak-unduk (tingkatan) basa dalam bahasa Sunda. Sistem bahasa yang terlahir dari adanya anggapan perbedaan derajat (strata sosial) antara kelas priayi dan somah.

Menurut saya, fenomena ini telah melahirkan berbagai persoalan dalam masyarakat Sunda. Pertama, lahirnya trauma politis di kalangan masyatakat Sunda, khususnya Ki Sunda dari kalangan budayawan dan masyarakat menengah ke bawah (somah), karena merekalah yang paling dirugikan. Trauma yang secara efektif melahirkan phobia di kalangan masyarakat Sunda akar rumput terhadap apa pun yang berbau politik yang dalam sejarah Sunda telah melahirkan perbedaan kelas. Kedua, khususnya pada masa sekarang, bahasa Sunda bertinggat tersebut telah melahirkan keengganan masyarakat Sunda untuk belajar secara serius dan menggunakan bahasa Sunda sintetik tersebut, karena diangap terlalu sulit dan rumit. Mereka memiliki prinsip dari pada salah dalam menggunakan undak-unduk basa, lebih baik tidak menggunakan sama sekali, kecuali di kalangan internal komunitas mereka sendiri, tentunya bahasa Sunda dengan tanpa aturan yang rumit tersebut. Ketiga, keadaan pada point kedua tersebut telah melahirkan sikap rendah diri masyarakt Sunda untuk mengusung apa pun yang berhubungan dengan kesundaan. Kesundaan dengan berbagai aspek dan identitasnya pada akhirnya hanya dihubungkan dengan acara-acara formal yang berbau adat atau bisnis pariwisata.

Dengan demikian, tidak pada tempatnya untuk mengatakan bahwa fenomena langkanya penggunaan bahasa Sunda dalam masyarakat Sunda, khususnya masyarakat perkotaan, dianggap sebagai persoalan yang tidak penting, walau pun memang bukan satu-satunya. Karena, problematika kebahasaan dalam bahasa Sunda ini, diakui atau tidak, telah menjadi pemicu awal hilangnya identitas dan harga diri Ki Sunda. Ki Sunda kini menjadi “heureut lengkah” karena ia kehilangan media aktualisis diri yang paling sublim. Sepasih-pasihnya orang (Ki Sunda) menggunakan bahasa orang lain (asing), ia tidak akan mampu mengekspresikan pengalaman bathinnya yang paling dalam (peak experiences) secara sempurna bila menggunakan bahasa orang lain, berbeda bila ia menggunakan bahasa ibunya, Sunda.

Bila Ajip Rosidi merasa gereget dan panas hati melihat fenomena miskinnya tradisi kritik sastra dalam masyarakat Sunda adalah wajar, karena dengan hilangnya rasa basa kasundaan Ki Sunda telah terputus dengan lubuk hati ke-Sunda-annya, sebagai masyarakat yang periang, penuh dengan sempal guyon, sindir sampir, sindang siloka (tradisi kritik khas timur, Sunda). Bila kita melongok pada cerita-cerita klasik masyarakat Sunda atau sejumlah masyarakat tradisi, kita akan menemukan kekayaan tradisi kritik yang sangat tajam, namun penuh ke’arifan (khas timur). Tardisi ini memang masih ada, tapi sulit untuk menemukannya di perkotaan, sebabnya jelas, karena mereka (kita orang kota) lebih sering dan terbiasa menggunakan bahasa (dengan tanpa rasa bahasa) “orang lain”. Keadaan inilah mungkin sangat tepat bila merujuk pada apa yang disebutkan Penghulu Bandung K.H Hasan Mustapa ketika ia mengatakan Sunda itu sundek, picik, tidak memiliki ruang gerak yang luas dan bebas, karena kemana pun Ki Sunda menatap dan melangkah yang kita temukan hanyalah milik orang lain, “cukleuk leuweung cukleuk lamping jauh ka sintung kalapa, lieuk deungeun lieuk lain jauh ka induk ka bapa”, yang pada akhirnya nete semplek nicak semplak, kondisi yang membuat Ki Sunda cenderung emosional dan mudah teringgung. Kecenderungan yang juga sangat potensial untuk matinya tradisi ktitik. Karena bagaimana pun halusnya kritik yang orang tujukan pada kita, akan membuat kita merasa tidak nyaman dan terhina.

Bayangkan, bagaimana tidak emosional, bila prediksi dan hipotesa tentang kondisi sekaratnya Ki Sunda dihubungkan dengan Kiamat, dan menganggap perbedaan cara pandang di kalangan Ki Sunda akan mengakibatkan perang? Dan pemikiran itu didukung pula oleh Hadits Nabi tentang ciri-ciri Kiamat. Padahal ada hadits yang lebih relepan tentang perbedaan paham dan cara pandang, yaitu bahwa perbedaan paham dan cara pandang merupakan rahmat (ikhtilafi ummati rahmat), bukannya kiamat. Sama halnya dengan ungkapan kekhawatiran juragan Miing (Dedi Gumelar) sebagai sikap tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki rasa cinta terhadap Ki Sunda. Benar-benar “sundek”. Tuh kan saya pun emosional.

Mengamati polemik di antara Ki Sunda yang emosional ini, saya jadi teringat pada do’a al-Hallaj ketika ia akan dieksekusi, “Ya Allah, ma’afkanlah mereka yang tidak setuju dengan pendirianku dan menghukumku, mereka melakukan demikian karena mereka mencintaimu seperti halnya aku pun berbuat demikian karena cintaiku pada-Mu”. Wallahu’alam.

Selengkapnya...

Seni versus Agama

---

Seni versus Agama

Ahmad Gibson Al-Bustomi


“Aku harus berjuang untuk memperbanyak kenikmatan, bukan untuk mengurangi kenikmatan” (Roul Vaneigem, The Book of Pleasure)


Kegamangan kaum agamawan dan atau para orang tua terhadap kecenderungan semaraknya seni yang westernize (kebarat-baratan) yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai indikasi kemodernan, telah lama berakar. Sehingga, apresiasi mereka terhadap seni bukan lagi dalam perspektif seni, melainkan dalam perspekstif agama atau moralitas agama. Kegamangan yang pada akhirnya bukan sekedar sebuah bentuk kecurigaan, bahkan telah berubah menjadi “tuduhan”, bahwa seni cenderung bersebrangan dengan moralitas agama. Hal tersebut terutama ketika kapitalisme telah merambah dunia seni, yang menjadikan “erotisme” sebagai salah satu instrumen penting dalam karya seni. Bahkan lebih dari itu, muncul anggapan bahwa seni tiada lain dari media ekspresi erotisme itu sendiri.

Modernitas, pada awalnya merupakan cerita pertarungan paradigmatik yang dimenangkan oleh paradigma positivistik (paradigma ilmu pengetahuan modern). Paradigma yang secara tegas menafikan intensionalitas dan dimensi subjektif manusia, dimensi yang diasumsikan sebagai menjadi akar bagi kesadaran akan nilai-nilai moralitas manusia. Ekspresi apa pun dari manusia, adalah murni sebagai kenyataan manusia yang terlepas dari kesadaran-kesadaran dan nilai-nilai dan moralitas spiritual. Dan, secara pragmatis, ekspresi apa pun menjadi sah sejauh fungsional.

Paradigma positivistik yang diproklamirkan oleh August Comte, filosofinya bermuara pada Humanisme, menjadikan fakta-fakta kejasmaniahan manusia sebagai ukuran bagi pencapaian “kenikmatan”, pleasure. Prinsip yang kemudian menjadi pijakan bagi filosofi utilitarianisme dan pragmatisme. Dimensi spiritual sebagai ranah intensional manusia secara radikal diamputasi dari kehidupan manusia. Maka, norma-norma kehidupan sosial manusia tidak lagi dipijakkan di atas kesadaran spiritual tersebut, melainkan di atas asumsi-asumsi Humanisme. Asumsi-asumsi tersebut menjadi catatan traumatik yang tidak bisa begitu saja dilupakan oleh kaum agamawan. Asumsi yang menjadi pijakan apriori dalam menilai apa pun yang berlabel modern, termasuk seni.

Bila dipetakan, terdapat empat persoalan yang muncul, yaitu: seni, agama, modernitas dan kapitalisme. Pada awalnya, seni merupakan bagian integral dari kehidupan beragama. Tidak ada jarak antara tradisi kehidupan beragama dengan seni. Karena, seni seperti halnya agama, memiliki sejarah panjang dalam menyertai kehidupan manusia, dalam duka maupun suka. Di sisi lain, modernitas berkolaborasi dengan asas kapitalisme. Produk industri modern secara signifikan berelasi dengan kepentingan-kepentingan kapitalisme.

Seni, sebagai kenyataan universal dari kebutuhan vital kehidupan manusia, merupakan objek kapital yang sangat strategis. Indutri dalam bidang seni merupakan alternatif yang menjanjikan. Hal tersebut terutama ketika media elektronika telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Maka, keberadaan pementasan karya seni dan media elektronik merupakan dua unsur yang kini tidak bisa dipisahkan. Tidak seperti media radio yang hanya bisa menikmati alunan suara seorang artis, kini dengan hadirnya teknologi televisi, seorang artis tidak hanya sekedar bisa dinikmati suaranya, akan tetapi juga goyangannya. Bahkan, penari latar menjadi bagian intregral dari seni pentas. Demikian juga perfilman, yang pada asalnya hanya bisa dinikmati di layar lebar, kini bisa dinikmati sambil tiduran di dalam rumah.

Dari mulai tema kekerasan yang dipertontonkan oleh cerita film Micky-Mouse hingga film-film perang; atau tayangan buka-bukaan dari mulai iklan hingga film Bay Watch. Tidak ada yang tidak bisa ditonton di depan layar kaca, dari mulai yang lucu hingga yang “serem”. Maka, lengkaplah kekhawatiran agamawan termasuk para orang tua terhadap ekses penayangan apa pun di layar kaca. Bagaimana dengan seniman? Bervariasi tentunya! Dan diantara seniman tersebut terdapat juga para orang tuan dan tidak sedikit adalah agamawan (Da’i).

Seperti telah disebutkan, seni bukan sekedar bagian dari kehidupan manusia. Seni adalah kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, semua orang memiliki hajat atau kepentingan yang sama terhadap seni. Tidak terkecuali dalam kehidupan beragama. Dengan kata lain, tidak ada persoalan krusial dalam kehidupan berkesenian. Oleh karena itu tidak sedikit agamawan adalah juga seniman, dan juga sebaliknya seniman yang juga adalah agamawan. Atau paling tidak, banyak seniman yang konsern dengan persoalan agama, dan agamawan yang konsern dengan dunia seni. Keduanya berelasi secara hormonis, tidak pernah bisa dipisahkan. Namun, kenapa kini terdapat indikasi yang saling bertentangan. Konflik Rhoma Irama cs. versus komunitas korps “Inulitas” (untuk tidak menyebut Inul sebagai pribadi dan tidak mendeskreditkannya) adalah faktanya.

Pada awalnya memang berkutat pada persoalan identitas seni dan hak berekspresi dalam dunia seni. Tapi, ada satu hal yang sangat menghawatirkan, jargon agama menjadi lebih mengemuka, dibanding sekedar persoalan dunia seni: etika bereskpresi, identitas seni tertentu, dan lain sebagainya. Jangan sampai, untuk mengusung identitas (apalagi kepemilikan identitas dangdut), popularitas, kepentingan kapitalistik, kemudian agama dijadikan bemper dan dikorbankan. Apalagi bila kemudian tokoh-tokoh agama, setingkat Gus Dur dilibatkan dan dipojokkan untuk mengomentari apa yang ia tidak ketahui (?), hanya untuk “mengimbangi” kharisma religius bung Rhoma. Bung Rhoma, sebagain “Kiyainya” para artis dangdunt, akan lebih arif bila merasa melihat ada hal yang tidak berkenan, akan lebih arif bila diselesaikan secara persuasif, mendatanginya secara pribadi dan tidak dipublikasikan. Menutup aib lebih baik dari pada membukanya di depan umum, walaupun (apalagi) atas nama agama.

Dunia “dangdut” menjadi ajang pertarungan itu, walaupun sebenarnya yang bertarung bukan hanya dunia dangdut, akan tetapi hampir seluruh dunia seni, baik seni musik dan tarik suara, seni rupa, maupun dunia per-film-an, serta dunia hiburan lainnya yang “dituduh” sebagai berbau erotisme. Seni versus agama.

Sebagian dari tubuh manusia dalam perspektif etika agama adalah aurat, persoalan peka dalam kehidupan beragama. Sedangkan dalam dunia seni, tidak dikenal kata aurat. Tubuh manusia, secara keseluruhan adalah inspirasi artistik, seperti halnya keseluruhan alam semesta. Apa yang tampak adalah lukisan, dan suara yang ditimbulkannya adalah musik dan nyanyian alam. Seluruh gerak dan perubahan, adalah tarian. Tidak ada yang tabu, semuanya alamiah. Tidak ada norma apa pun untuk mengatakan bahwa gunung itu jahat tatkala ia memuntahkan lava, dan merengut ribuan korban manusia. Yang salah adalah manusia itu sendiri! Demikian juga dengan karya seni sebagai ekspresi.

Berbeda dengan cara pandang agama. Fakta artistik dari alam (dengan sebagai perwujudannya) dan tubuh manusia adalah satu hal; dan ekspresi artistik dari manusia adalah hal lain. Ekspresi artistik yang dilakukan manusia terlahir dari keseluruhan kesadarannya. Terlahir dari kepedulian subjektif dan intensionalitasnya sebagai manusia yang sadar. Ekspresi artistik bukan sekedar pemenuhan hasrat artistik (lust) belaka, akan tetapi memiliki tujuan atau orientasi eksistensial sebagai manusia yang berkesadaran, sebagai makhluk Tuhan. Ekspresi artistik dalam beragama bukan sekedar pilihan, akan tetapi kemestian karena Tuhan memang Yang Maha Indah (al-Jamal), dan mencintai keindahan. Kemahaindahan dan cintanya kepada keindahan terwujud dalam ciptaannya: alam semesta dan manusia. Asumsi ini bukan hanya merupakan paradigma agama “wahyu” (meta-kosmik) tetapi juga agama tradisi (kosmik). Dalam paradigma masyarakat tradisi, khsusnya di Dunia Timur, memliki dasar asumsi yang pada umunya sama terhadap tubuh (manusia). Tedapat term “aurat”, tentunya dengan bahasa dan batasan yang berbeda. Ada tabu (taboo, pamali).

Keindahan merupakan harmoni dari berbagai unsur: bentuk, warna-warna, gerak, bunyi dan lain sebagainya. Harmoni adalah cosmos, dan kebalikannya adalah chaos (disharmony). Keindahan merupakan jiwa dari seni (art), sehingga sesuatu yang memiliki nilai-nilai keindahan biasa disebut artistik (nyeni). Harmoni dalam seni tidak bermakna “homogenitas”. Kekuatan harmonitas justru terdapat pada pertautan dari perbedaan bahkan yang bertentangan. Dalam musik, sebagai contoh, irama terlahir dari nada-nada yang berbeda dan bertentangan yang “tersusun” (arrangement) secara harmonis. Demikian juga dengan seni rupa, seni tari dan lain sebagainya. Bahkan, dalam seni tari terjadi harmonisasi antara nada dan gerak (gabungan dari unsur-unsur yang sungguh berbeda).

Hasrat religi dan hasrat berkesenian merupakan dua hal yang bersumber dari mata air yang sama, yaitu dimenesi pengalaman terdalam manusia, peak experiences. Oleh karena itu, semenjak awal kedua hasrat tersebut bertemu dalam perwujudan yang saling melengkapi. Akan tetapi ketika baik hasrat agama maupun seni telah dibungkus oleh sejumlah kepentingan dan ideologi luaran, keduanya berhadapan secara diametral. Dengan demikian, yang menghadapkan seni dan agama dalam keberhadapan yang kontradisksi adalah unsur-unsur luar seni dan agama itu sendiri. Kepentingan-kepentingan kapitalistik, politik, ideologis dan lain sejenis yang memposisikan keduanya secara diametral, kontradiktif.

Pada kasus Rhoma Irama cs. versus Inulitas, sebagai contoh, yang mengemuka pada akhirnya adalah persoalan-persoalan hak asasi manusia (HAM) yang dipersempit menjadi sekedar persoalan hukum, hilangnya sejumlah proyek pementasan dan rekaman (perspektif kapitalistik), dan lain sebagainya. Semuanya, merupakan sisi luar dari dimensi seni. Oleh karena itu, rumor Inulitas hanya mengedepankan siapa penekan dan siapa yang menjadi korbannya. Dan ketika itu, secara “moral” korban harus menang dan mendapatkan dukungan. Bila demikian, tidak ada lagi dialog kecuali keberpihakkan yang berpijak pada asumsi-asumsi apriori. Padahal, bila “pertentangan” tersebut dihayati sebagai potensi dialektis, bukan tidak mungkin justru melahirkan cara pandang artistik yang lebih berkualitas, sebagai “seni alternatif”. Bukan konflik horizontal. Selain itu bukan tidak mungkin akan melahirkan cara pandang keagamaan yang lebih apresiatif terhadap fakta kehidupan manusi. Sehingga, agama tidak lagi tampil sebagai sosok yang hanya bisa menyalahkan, akan tetapi sosok yang arif yang mampu memberikan solusi alternatif terhadap seluruh persoalan kehidupan manusia. Wallahu’alam.

Selengkapnya...

STRUKTUR KOSMOLOGIS DAN APRESIASI SENI TRADISI

---

STRUKTUR KOSMOLOGIS DAN APRESIASI SENI TRADISI

Ahmad Gibson Al-Bustomi

Jerit Dewi Asri ngajerit…..”Deudeuh akang Mundinglaya di Kusumah, tiwas-tiwas, ti peuting kaimpi sumping, ti beurang kaetang datang, bisi kasilih kujunti, ulah kabeunangan bagja. Sugan teh kukupu hideung, sihoreng obat kabeuleum; suganteh Mundinglaya kukuh katineung, sihoreng kabengbat deungeun…”

K.H. Hasan Mustapa

Kebudayaan, dalam logika apa pun diakui sebagai sesuatu yang bersifat dinamis. Aspek dinamis kebudayaan ditemukan tatkala ia berelasi dengan kebudayaan lain. Sisi dinamis ini dimungkinkan, karena setiap kebudayaan memiliki dua kekuatan internal untuk survive. Kebudayaan bertahan melalui dua cara: pertama, dengan berelasi dan membuka dirinya terhadap kebudayaan lain. Kedua, dengan melakukan proteksi terhadap sejumlah kemungkinan interpensi budaya lain yang memungkinkan terjadinya proses “penghancuran” kebudayaan sendiri. Dengan kata lain, kebudayan bisa bertahan melalui himpitan dan tarik ulur dalam relasinya dengan kebudayaan lain.

Suatu masyarakat dengan kebudayaannya, bila tidak berelasi dengan masyarakat dan kebudayaan lain (dan ini sungguh-sungguh tidak mungkin), akan menyeret masyarakatnya dalam keterasingan dengan dunia luar yang lebih luas. Terutama, dalam tekanan global yang sekarang sedang melanda masyarakat-dunia. Ketertutupan dan sikap menutup diri terhadap relasinya dengan dunia luar akan menyeret masyarakat tersebut pada sikap peng-objek-kan masyarakat dan budayanya. Dalih “mempertahankan” originalitas kebudayan lokal, dengan menolak relasi dengan masyarakt dan budaya lain, akan melahirkan proses pemutlakan dan pada akhirnya eksistensi manusia sebagai unsur dinamis dan unsur primer dalam kebudayaan suatu masyarakat akan tersubordinasi di bawah bayang-bayang kebudayaannya. Manusia menjadi objek kebudayaan tanpa memiliki kesempatan untuk berkembang. Dan bila manusia, sebagai unsur dinamis dalam kebudayaan masyarakat, terlah tersubordinasi dan menjadi objek kebudayaan, manusia akan mengalami proses amnesia (lupa akan diri, ada). Dan, ketika itu secara internal kebudayaan akan mengalami kematiannya.

Di sisi lain, bila suatu masyarakat sedemikian terbuka terhadap kebudayaan yang datang dalam kehidupan masyarakat tersebut tanpa memiliki daya saring dan daya tolak, ia pun akan mengalami nasib yang tidak lebih sama. Karena, manusia dalam masyarakat tersebut menjadi objek bagi kebudayaan lain. Masyarakat tersebut akan mengalami kondisi amnesia (lupa akan dri, ada).

Dengan demikian, resepsitas dan resistensitas masyarakat terhadap kebudsyaan lain harus dalam kadar dan tingkat yang seimbang. Lalu, apa yang harus dilakukan suatu masyarakat dengan kebudayaannya ketika ia berhadapan dengan masyarakat dan kebudayaan lain? Sehingga ia tetap menjadi dirinya sendiri secara autentik, kalaupun ia menggunakan kebudayaan yang berasal dari masyarakat lain.

Kebudayaan merupakan kristalisasi dari sejarah psikologis dan kreatifiitas sebagai biografi masa lalu masyarakatnya. Masa lalu yang membentuk wilayah sub-sadarnya sebagai dasar dalam merumuskan dan mengkonseptualisasikan pandangannya tentang dirinya, alam sekitar dan nilai bagi kehidupannya. Konsep yang dalam terminologi antropologi atau ilmu budaya dikenal dengan “pandangan kosmologis”. Suatu pandangan yang merupakan upaya pemetaan dan positioning dirinya dalam lingkup ruang-waktu yang mengitarinya. Dalam teorema van Peursen, pandangan kosmologis ini merupakan keputusan yang diambil masyartakat sebagai strategi dalam memahami untuk menjalani kehidupan di bawah “tekanan-tekanan” fenomena dan kondisi yang melingkupinya. Strategi untuk memahami kondisi keterhimpitan yang tidak dimengertinya menjadi sesuatu yang sungguh dimengerti, yang melahirkan nalar budaya tertentu. Nalar budaya pun, pada akhirnya “harus” dipahami sebagai sesuatu yang memiliki hubungan interdepedensi dengan pandangan kosmologis yang hidup dalam masyarakat.

Pandangan kosmologis, sebagai merupakan kristalisasi yang bersifat konseptual dari pengalaman masyarakat dalam memahami dan merespon penampakan dunia luar dirinya (“alam”), menentukan wujud prilaku dalam merespon alam dan lingkungannya. Seni, sebagai strategi kebudayaan, merupakan wujud respon terhadap alam dan lingkungannya. Seni merupakan prilaku simbolik masyarakat untuk menyelaraskan antara struktur prilaku alam dan lingkungannya dengan struktur pengalaman bathinnya. Dengan demikian, seni dan tradisi-tradisi lainnya dalam suatu masyarakat tidak bisa hanya dipahami dalam paradigma empirik, tanpa memandangnya sebagai “dunia” ketiga kehidupan manusia. Yaitu, dunia simbolik, dunia yang hidup dalam pikiran manusia. Dunia yang dianggap nyata oleh suatu masyarakat, secara apriori, akan tetapi bisa dianggap sebagai khayalan atau prilaku neurosis oleh masyarakat lain. Ekspresi kebudayaan, khususnya dalam dunia seni, bukan masalah benar atau salah, akan tetapi persoalan pemaknaan. Realibilitas suatu seni budaya tidak bisa dilihat dalam nalar rasional dan nalar empirik belaka, akan tetapi pada sejauh mana suatu masyarakat memberi makna dan “menghayati”-nya. Sebagai ilustrasi, generasi muda Indonesia yang belum tentu memiliki kemauan berbahasa Inggris dengan baik, bisa saja ia menikmati dan mengapresiasi seni musik Barat dengan baik. Dalam bahasa yang sering kita dengar, mungkin sebagai pernyataan apriori, bahwa mereka lebih bisa mengalami nilai-nilai religius dengan mendengarkan lagu-lagu atau musik Barat, dari pada alunan ayat suci sekali pun; dan lebih bisa menghayati kearifan dan nilai-nilai kemanusia melalui lagu-lagu dan musik tersebut, dibandingkan dengan bila mendengarkan lagu-lagu dan musik tradisional. Hal ini bisa dipahami bila ia telah mampu memahami dan mengalami pandangan kosmologis yang hidup dalam nalar masyarakat dan kebudayaan Barat. Kalau tidak, jangan-jangan yang ia hayati hanyalah nalar populis. Yaitu, menikmati tuntutan popularitas, bukan keselarasan antara seni dengan biografi kehidupannya. Nalar yang merepresentasikan kepribadian yang mengalami “amnesia”, lupa akan diri.

Masyarakat Sunda, sebagai masyarakat yang hidup dalam alam dan kultur Sunda, tentunya memiliki seperangkat pandangan kosmologis, sebagai kristalisasi biografi masa lalunya; baik masa lalu pribadinya, maupun masa lalu yang diwariskan pendahulu atau nenek moyangnya. Biografi yang secara “dialektis” menghasilkan cara pandang baru (sintetik). Dialektika tersebut terjadi dalam bentuk evaluasi dan kritik budaya, dengan prinsip “bertolak dan menolak”. Maksudnya, kritik dan evaluasi yang dilakukan tetap berpijak di atas pandangan kosmologis sebelumnya, untuk membangun pandangan kosmologi baru, atau paling tidak memberikan makna baru terhadap pandangan kosmologi sebelumnya.

Kritik dan evaluasi kultural tersebut dilakukan baik dalam proses penerimaan maupun dalam proses penolakan. Bila penerimaan suatu kebudayaan tanpa melakukan kritik dan evaluasi tersebut akan menimbulkan keterputusan hubungan sejarah dan biografi antara dirinya dengan kebudayaannya. Ia merespon kebudayaannya secara semu, dan hanya menangkap sisi-sisi permukaanya. Bila demikian, kebudayaan hanya hadir sebagai warisan masa lalu tanpa memiliki fungsi-fungsi sosial dan budaya bagi diri dan masyarakatnya. Pentas seni tradisional, sebagai contoh, hanyalah menjadi ritus pemeliharaan artepak budaya masa lalu, bukan sebagai ekspresi dan apresiasi terhadap kebudayaan tersebut.

Sebagai ilustrasi, mengapa masyarakat Sunda kiwari pada umunya tidak memiliki dan tidak mampu mengapresiasi kebudayaan lokalnya? Jangan-jangan karena mereka tidak lagi memiliki ketersambungan pandangan kosmologi dan pengalaman biografisnya dengan dasar pijakan kosmologis dan biografi yang melatarbelakangi lahirnya seni dan kebudayaan Sunda.

Secara kultural, di mana sesungguhnya pandangan kosmologi masyarakat tradisi berada? Pada umunya, pandangan kosmologi suatu masyarakat tergambar dalam khazanah mitologisnya. Demikian juga dengan pandangan kosmologi Sunda, terdapat dalam kekayaan khazanah mitologinya. Namun, berapa banyak sesungguhnya masyarakat muda Sunda kiwari yang mengenal khazanah mitologi Sunda. Karena, mitos dalam pandangan masyarakat Sunda “modern”, telah dianggap sebagai sesuatu hayali belaka, tidak memiliki makna dan pijakan yang berdasar. Mudah diduga, bahwa pandangan ini muncul dari paradigma modern yang berpijak di atas paradigma positifisme, yang mengharamkan hadirnya pandangan dan paradigma mitologis.

Bila demikian, bagaimana kita mesti menyikapi mitos-mitos yang hidup dan dikenal dalam masyarat sendiri, Sunda? Dalam kacamata kesekarangan atau kemodernan, memang sulit untuk bisa menerima kehadiran mitos tradisi kecuali hanya sebagai cerita-cerita pengantar tidur. Cerita yang hanya hidup dalam hayalan anak kecil belaka. Untuk bisa menghidupkan kembali mitos-mitos tradisi sebagai pijakan pandangan kosmologis tampaknya harus dilakukan pemaknaan ulang secara “kritis” terhadap mitos-mitos tersebut. Dr. Afifi Muhammad, salah seorang dosen senior penulis, pernah mengatakan dalam salah satu kuliahnya: “Saya tidak peduli apakah cerita-cerita dalam kitab suci itu benar-benar ada dan terjadi, yang penting bagaimana saya bisa mengambil makna dan pelajaran dari cerita tersebut”. Bila nalar yang sama kita gunakan untuk melihat mitos-mitos tradisi, kita bisa mengatakan, “Tidak penting apakah mitos-mitos tradisi itu menceritakan apa yang benar-benar terjadi atau hanya hayalan belaka, yang lebih penting adalah pelajaran dan makna apa yang bisa kita ambil dari cerita mitologis itu”. Dalam wacana teologi Kristen Modern, cara pandang ini dikenal dengan “demitologisasi”, teologi yang dikembangkan oleh Butlman. Suatau metode teologis yang berusaha untuk melihat cerita-cerita keagamaan yang berbau mitologis, dalam relasinya dengan konteks sejarah manusia. Sehingga, cerita-cerita tersbut memiliki jiwa makna historisnya.

Dengan cara pandang ini, cerita-cerita keagamaan maupun mitos, bahkan mungkin film-film modern dan telenopela, nilai pentingnya bukan pada apakah ia benar-benar terjadi, akan tetapi pada makna dan pelajaran yang bisa kita ambil dari kesemuanya itu. Bila kita berpikir secara kritis dan adil terhadap nenek moyang setiap bangsa yang kita anggap naif dan kita menganggap bahwa mereka memandang mitos sebagai kejadian yang sunguh-sungguh terjadi, jangan-jangan mereka sendiri tidak pernah memandang demikian. Kalau pun mereka berpandangan demikian, hanyalah untuk menjaga kehidupan mitos tersebut dalam pikiran generasi penerusnya, sebagai wujud tanggung jawab terhadap anak cucunya. Karena, mitos dalam konteks budaya tak lebih dari “simbolisasi” dan deskripsi secara “teaterikal” terhadap pandangan hidup masyarakatnya. Mereka menjaganya dengan mengangkat cerita-cerita tersebut dengan mengangkatnya dalam matra dunia sakral. Hal itu dilakukan, karena mereka sadar bahwa pandangan kosmologis, yang tertuang dalam cerita mitologis dan cerita-cerita keagamaan, merupakan unsur penting bagi kehidupan suatu masyarakat. Mitologi, seperti diungkap van Peursen, seperti halnya paradigma ilmiah modern, merupakan pedoman dan paradigma suatu masyarakat atau generasi tertentu dalam menyelesaikan dan menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya. Dengan itu pula mereka memproduksi karya-karya budaya baru, termasuk seni tradisi. Maka, untuk bisa mengapresiasi dan menghayati serta menikmati seni budaya tradisi harus pula memiliki pengetahuan dan berdasarkan pada penghayatan terhadap paradigma mitologisnya. Untuk itu, untuk menjadikan kebudayaan dan seni tradisi harus pula diiringi dengan sosialisasi dan internalisasi tradisi mitologi sebagai dasar kosmologiya. Bila tidak, maka, kalau pun seni tradisi masih tetap hadir dalam masyarakat, termasuk seni tradisi Sunda, tak lebih hanya sebagai karya seni yang tidak memiliki kekuatan dan daya hidup masyarakatnya. Ia (seni tradisi), tak lebih seperti “jombi” dan bayang-bayang yang bergerak tanpa memiliki daya hidup.

Selengkapnya...

---

Seni versus Agama

Ahmad Gibson Al-Bustomi

“Aku harus berjuang untuk memperbanyak kenikmatan, bukan untuk mengurangi kenikmatan” (Roul Vaneigem, The Book of Pleasure)

Kegamangan kaum agamawan dan atau para orang tua terhadap kecenderungan semaraknya seni yang westernize (kebarat-baratan) yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai indikasi kemodernan, telah lama berakar. Sehingga, apresiasi mereka terhadap seni bukan lagi dalam perspektif seni, melainkan dalam perspekstif agama atau moralitas agama. Kegamangan yang pada akhirnya bukan sekedar sebuah bentuk kecurigaan, bahkan telah berubah menjadi “tuduhan”, bahwa seni cenderung bersebrangan dengan moralitas agama. Hal tersebut terutama ketika kapitalisme telah merambah dunia seni, yang menjadikan “erotisme” sebagai salah satu instrumen penting dalam karya seni. Bahkan lebih dari itu, muncul anggapan bahwa seni tiada lain dari media ekspresi erotisme itu sendiri.

Modernitas, pada awalnya merupakan cerita pertarungan paradigmatik yang dimenangkan oleh paradigma positivistik (paradigma ilmu pengetahuan modern). Paradigma yang secara tegas menafikan intensionalitas dan dimensi subjektif manusia, dimensi yang diasumsikan sebagai menjadi akar bagi kesadaran akan nilai-nilai moralitas manusia. Ekspresi apa pun dari manusia, adalah murni sebagai kenyataan manusia yang terlepas dari kesadaran-kesadaran dan nilai-nilai dan moralitas spiritual. Dan, secara pragmatis, ekspresi apa pun menjadi sah sejauh fungsional.

Paradigma positivistik yang diproklamirkan oleh August Comte, filosofinya bermuara pada Humanisme, menjadikan fakta-fakta kejasmaniahan manusia sebagai ukuran bagi pencapaian “kenikmatan”, pleasure. Prinsip yang kemudian menjadi pijakan bagi filosofi utilitarianisme dan pragmatisme. Dimensi spiritual sebagai ranah intensional manusia secara radikal diamputasi dari kehidupan manusia. Maka, norma-norma kehidupan sosial manusia tidak lagi dipijakkan di atas kesadaran spiritual tersebut, melainkan di atas asumsi-asumsi Humanisme. Asumsi-asumsi tersebut menjadi catatan traumatik yang tidak bisa begitu saja dilupakan oleh kaum agamawan. Asumsi yang menjadi pijakan apriori dalam menilai apa pun yang berlabel modern, termasuk seni.

Bila dipetakan, terdapat empat persoalan yang muncul, yaitu: seni, agama, modernitas dan kapitalisme. Pada awalnya, seni merupakan bagian integral dari kehidupan beragama. Tidak ada jarak antara tradisi kehidupan beragama dengan seni. Karena, seni seperti halnya agama, memiliki sejarah panjang dalam menyertai kehidupan manusia, dalam duka maupun suka. Di sisi lain, modernitas berkolaborasi dengan asas kapitalisme. Produk industri modern secara signifikan berelasi dengan kepentingan-kepentingan kapitalisme.

Seni, sebagai kenyataan universal dari kebutuhan vital kehidupan manusia, merupakan objek kapital yang sangat strategis. Indutri dalam bidang seni merupakan alternatif yang menjanjikan. Hal tersebut terutama ketika media elektronika telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Maka, keberadaan pementasan karya seni dan media elektronik merupakan dua unsur yang kini tidak bisa dipisahkan. Tidak seperti media radio yang hanya bisa menikmati alunan suara seorang artis, kini dengan hadirnya teknologi televisi, seorang artis tidak hanya sekedar bisa dinikmati suaranya, akan tetapi juga goyangannya. Bahkan, penari latar menjadi bagian intregral dari seni pentas. Demikian juga perfilman, yang pada asalnya hanya bisa dinikmati di layar lebar, kini bisa dinikmati sambil tiduran di dalam rumah.

Dari mulai tema kekerasan yang dipertontonkan oleh cerita film Micky-Mouse hingga film-film perang; atau tayangan buka-bukaan dari mulai iklan hingga film Bay Watch. Tidak ada yang tidak bisa ditonton di depan layar kaca, dari mulai yang lucu hingga yang “serem”. Maka, lengkaplah kekhawatiran agamawan termasuk para orang tua terhadap ekses penayangan apa pun di layar kaca. Bagaimana dengan seniman? Bervariasi tentunya! Dan diantara seniman tersebut terdapat juga para orang tuan dan tidak sedikit adalah agamawan (Da’i).

Seperti telah disebutkan, seni bukan sekedar bagian dari kehidupan manusia. Seni adalah kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, semua orang memiliki hajat atau kepentingan yang sama terhadap seni. Tidak terkecuali dalam kehidupan beragama. Dengan kata lain, tidak ada persoalan krusial dalam kehidupan berkesenian. Oleh karena itu tidak sedikit agamawan adalah juga seniman, dan juga sebaliknya seniman yang juga adalah agamawan. Atau paling tidak, banyak seniman yang konsern dengan persoalan agama, dan agamawan yang konsern dengan dunia seni. Keduanya berelasi secara hormonis, tidak pernah bisa dipisahkan. Namun, kenapa kini terdapat indikasi yang saling bertentangan. Konflik Rhoma Irama cs. versus komunitas korps “Inulitas” (untuk tidak menyebut Inul sebagai pribadi dan tidak mendeskreditkannya) adalah faktanya.

Pada awalnya memang berkutat pada persoalan identitas seni dan hak berekspresi dalam dunia seni. Tapi, ada satu hal yang sangat menghawatirkan, jargon agama menjadi lebih mengemuka, dibanding sekedar persoalan dunia seni: etika bereskpresi, identitas seni tertentu, dan lain sebagainya. Jangan sampai, untuk mengusung identitas (apalagi kepemilikan identitas dangdut), popularitas, kepentingan kapitalistik, kemudian agama dijadikan bemper dan dikorbankan. Apalagi bila kemudian tokoh-tokoh agama, setingkat Gus Dur dilibatkan dan dipojokkan untuk mengomentari apa yang ia tidak ketahui (?), hanya untuk “mengimbangi” kharisma religius bung Rhoma. Bung Rhoma, sebagain “Kiyainya” para artis dangdunt, akan lebih arif bila merasa melihat ada hal yang tidak berkenan, akan lebih arif bila diselesaikan secara persuasif, mendatanginya secara pribadi dan tidak dipublikasikan. Menutup aib lebih baik dari pada membukanya di depan umum, walaupun (apalagi) atas nama agama.

Dunia “dangdut” menjadi ajang pertarungan itu, walaupun sebenarnya yang bertarung bukan hanya dunia dangdut, akan tetapi hampir seluruh dunia seni, baik seni musik dan tarik suara, seni rupa, maupun dunia per-film-an, serta dunia hiburan lainnya yang “dituduh” sebagai berbau erotisme. Seni versus agama.

Sebagian dari tubuh manusia dalam perspektif etika agama adalah aurat, persoalan peka dalam kehidupan beragama. Sedangkan dalam dunia seni, tidak dikenal kata aurat. Tubuh manusia, secara keseluruhan adalah inspirasi artistik, seperti halnya keseluruhan alam semesta. Apa yang tampak adalah lukisan, dan suara yang ditimbulkannya adalah musik dan nyanyian alam. Seluruh gerak dan perubahan, adalah tarian. Tidak ada yang tabu, semuanya alamiah. Tidak ada norma apa pun untuk mengatakan bahwa gunung itu jahat tatkala ia memuntahkan lava, dan merengut ribuan korban manusia. Yang salah adalah manusia itu sendiri! Demikian juga dengan karya seni sebagai ekspresi.

Berbeda dengan cara pandang agama. Fakta artistik dari alam (dengan sebagai perwujudannya) dan tubuh manusia adalah satu hal; dan ekspresi artistik dari manusia adalah hal lain. Ekspresi artistik yang dilakukan manusia terlahir dari keseluruhan kesadarannya. Terlahir dari kepedulian subjektif dan intensionalitasnya sebagai manusia yang sadar. Ekspresi artistik bukan sekedar pemenuhan hasrat artistik (lust) belaka, akan tetapi memiliki tujuan atau orientasi eksistensial sebagai manusia yang berkesadaran, sebagai makhluk Tuhan. Ekspresi artistik dalam beragama bukan sekedar pilihan, akan tetapi kemestian karena Tuhan memang Yang Maha Indah (al-Jamal), dan mencintai keindahan. Kemahaindahan dan cintanya kepada keindahan terwujud dalam ciptaannya: alam semesta dan manusia. Asumsi ini bukan hanya merupakan paradigma agama “wahyu” (meta-kosmik) tetapi juga agama tradisi (kosmik). Dalam paradigma masyarakat tradisi, khsusnya di Dunia Timur, memliki dasar asumsi yang pada umunya sama terhadap tubuh (manusia). Tedapat term “aurat”, tentunya dengan bahasa dan batasan yang berbeda. Ada tabu (taboo, pamali).

Keindahan merupakan harmoni dari berbagai unsur: bentuk, warna-warna, gerak, bunyi dan lain sebagainya. Harmoni adalah cosmos, dan kebalikannya adalah chaos (disharmony). Keindahan merupakan jiwa dari seni (art), sehingga sesuatu yang memiliki nilai-nilai keindahan biasa disebut artistik (nyeni). Harmoni dalam seni tidak bermakna “homogenitas”. Kekuatan harmonitas justru terdapat pada pertautan dari perbedaan bahkan yang bertentangan. Dalam musik, sebagai contoh, irama terlahir dari nada-nada yang berbeda dan bertentangan yang “tersusun” (arrangement) secara harmonis. Demikian juga dengan seni rupa, seni tari dan lain sebagainya. Bahkan, dalam seni tari terjadi harmonisasi antara nada dan gerak (gabungan dari unsur-unsur yang sungguh berbeda).

Hasrat religi dan hasrat berkesenian merupakan dua hal yang bersumber dari mata air yang sama, yaitu dimenesi pengalaman terdalam manusia, peak experiences. Oleh karena itu, semenjak awal kedua hasrat tersebut bertemu dalam perwujudan yang saling melengkapi. Akan tetapi ketika baik hasrat agama maupun seni telah dibungkus oleh sejumlah kepentingan dan ideologi luaran, keduanya berhadapan secara diametral. Dengan demikian, yang menghadapkan seni dan agama dalam keberhadapan yang kontradisksi adalah unsur-unsur luar seni dan agama itu sendiri. Kepentingan-kepentingan kapitalistik, politik, ideologis dan lain sejenis yang memposisikan keduanya secara diametral, kontradiktif.

Pada kasus Rhoma Irama cs. versus Inulitas, sebagai contoh, yang mengemuka pada akhirnya adalah persoalan-persoalan hak asasi manusia (HAM) yang dipersempit menjadi sekedar persoalan hukum, hilangnya sejumlah proyek pementasan dan rekaman (perspektif kapitalistik), dan lain sebagainya. Semuanya, merupakan sisi luar dari dimensi seni. Oleh karena itu, rumor Inulitas hanya mengedepankan siapa penekan dan siapa yang menjadi korbannya. Dan ketika itu, secara “moral” korban harus menang dan mendapatkan dukungan. Bila demikian, tidak ada lagi dialog kecuali keberpihakkan yang berpijak pada asumsi-asumsi apriori. Padahal, bila “pertentangan” tersebut dihayati sebagai potensi dialektis, bukan tidak mungkin justru melahirkan cara pandang artistik yang lebih berkualitas, sebagai “seni alternatif”. Bukan konflik horizontal. Selain itu bukan tidak mungkin akan melahirkan cara pandang keagamaan yang lebih apresiatif terhadap fakta kehidupan manusi. Sehingga, agama tidak lagi tampil sebagai sosok yang hanya bisa menyalahkan, akan tetapi sosok yang arif yang mampu memberikan solusi alternatif terhadap seluruh persoalan kehidupan manusia. Wallahu’alam.

Selengkapnya...

Friday, April 14, 2006

---

Islam-Sunda Bersahaja di Kampung Naga
Oleh AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI

Cuntang gantang gurat
garet papetelan,
nyieun tali keukeumbingan,
nyieun gantar pupuntungan,
nyieun bom tali kerta.

TAHUN ini adalah tahun kambing. Ini bukan ramalan shio China, tapi hasil perhitungan astronomi masyarakat adat Kampung Naga, Tasikmalaya. Sebagai masyarakat agraris, penamaan tahun ini dikaitkan dengan curah hujan dan curah matahari. Tahun kambing berada berada di bawah bayang-bayang Dewa Tumpekmindo, yang menandai karakter tahun yang kadang-kadang hujan, kadang-kadang kemarau. Perhitungan tahun masyarakat Kampung Naga menggunakan penanggalan Hijriah, lewat analisis terhadap jenis hari yang bertepatan dengan 1 Muharam, mereka menemukan jejak-jejak cuaca bagi kelangsungan kehidupan agraris mereka. Tahun 1423 H yang jatuh pada Sabtu dirumuskan berada dalam karakter kambing, sesekali saja membutuhkan air.

Setiap bulan dalam setiap tahun, bisa juga dihitung arah cuacanya. Ada karakter dari masing-masing bulan. Bulan ini, sebagai contoh, tanggal 1 Hapit jatuh pada Minggu, Hapit bernaktu 1 ditambah dengan naktu tahun 1423: 4; berada di bawah bayangan Dewa Diktekapata (atau congcorang, belalang sembah), merupakan bulan yang jarang turun hujan.

Masyarakat adat Kampung Naga, tepatnya di wilayah Desa Neglasari Kecamatan Salawu Tasikmalaya, merupakan masyarakat Muslim yang secara ketat masih menjadikan adat Sunda sebagai rujukan kehidupannya. Hitungan waktu mereka merujuk pada hitungan sistem hijriah, namun disisipkan dengan kepercayaan lokal mengenai kekuatan kala (makhluk halus yang menempati horison langit) yang selalu berpindah-pindah dan posisinya menentukan curah hujan. Mereka membuat delapan kategori tahun, dengan kategori yang dikenal dalam penanggalan Islam sufi yaitu: tahun alif, tahun he, jim awal, ze, dal, be, wau, dan jim ahir; sekaligus juga memercayai adanya Dewa-dewa Diktekapata, Somamarocita, Angarakata, Budhaintuna, Laspatimariha, Sukramangkara, dan Tumpekmindo. Nama-nama dewa itu bukan untuk disembah, namun diabstraksikan karakternya dan dijadikan pedoman bagi cara bertanam.

Harmonisasi kepercayaan lokal dengan sistem ajaran Islam tidak jarang membuat mereka dipojokan sebagai komunitas yang berada di luar kebenaran (Islam). Apalagi, mereka menyarankan warganya yang sudah berhaji untuk tidak tinggal di wilayahnya, yang berhaji dianggap telah berziarah pada roh yang lebih suci ketimbang penghuni Kampung Naga karena itu tidak pantas lagi tinggal di wilayah Kampung Naga.

Serangan terhadap keunikan tradisi kehidupan Kampung Naga ini berpuncak pada tahun 1956. Kampung Naga dibakar oleh gerombolan DI/TII yang menyebabkan seluruh benda-benda pusaka hangus terbakar. Ada kisah lain yang menarik mengenai soal ini. Konon (seperti ditulis Syukriadi Sambas dalam tesisnya "Pemimpin Adat dan Kosmologi Waktu") pada tahun 1966 ada seorang warga Kampung Naga yang pulang dari pesantren. Ajaran Islam yang didapatkan dari pesantren membuat ia menyimpulkan bahwa itung-itungan masyarakatnya bertentangan dengan akidah Islam. Pemimpin adat waktu itu, Djaja Sutidja menerima kritik dan melakukan perubahan sesuai dengan keinginan santri muda tersebut. Untuk tanam padi tahun itu, ia menyerukan warganya untuk menggunakan penghitungan masyarakat umum (tidak menggunakan itung-itungan Kampung Naga). Namun, anehnya hasil pertanian gagal dipanen, ada hama wereng yang merusak tanaman mereka.

Waktu tanam memang tidak diatur dalam Alquran dan Hadis karena itu mereka merasa bukan soal besar jika menggunakan sistem penghitungan dari luar batas ajaran Islam atau mereka tak lagi menyoalkan kategori benar-salah, hidup membutuhkan kategori lain yang lebih membantu, yaitu bermanfaat-tidak bermanfaat. Upaya untuk mengategorikan kehidupan dalam batas salah-benar, seperti kasus santri muda, membuat kehidupan jadi berantakan. Walaupun demikian, secara sadar, warga Kampung Naga memulai perhitungannya dengan doa:

Allahumma puter giling tulak bala
Saking gumiling aya di wetan
Bilih balai aya di wetan
Pulang deui ka wetan
Tunggal hurip ku kersaning Allah
La Ilaha Illallah

Selamet

Kampung Naga, menurut kepercayaan masyarakatnya, adalah keturunan kerajaan Galunggung masa Islam. Mereka keturunan dari Sembah Dalem Singaparana, anak dari Prabu Rajadipuntang, Raja Galunggung VII. Prabu Rajadipuntang adalah Raja Galunggung terakhir yang menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Menurut catatan sejarah, buraknya Kerajaan Galunggung di tangan Prabu Rajadipuntang pada tahun 1520-an karena diserang oleh Kerajaan Pajajaran di bawah Prabu Surawisesa (1535-1543). Saat itu ada perebutan kuasa antara kerajaan Islam dan asli. Kerajaan Galunggung telah menjadi pemeluk agama Islam dan berarti tidak lagi menjadikan Pajajaran sebagai pusat. Menghadapi serangan itu, Prabu Rajadipuntang menyelamatkan harta pusaka dan menyerahkannya pada anak bungsunya yang bernama Singaparana. Untuk melaksanakan tugas itu Singaparana dibekali ilmu kebodohan yang membuat dirinya bisa nyumput buni dina caang (bersembunyi di keramaian).

Kampung Naga terletak diantara dua buah bukit dan di sisi Sungai Ciwulan. Ada sekira 420 takikan anak tangga di lereng perbukitan itu (konon pada penghitungan kali lain jumlahnya bisa berubah). Kita harus menuruni anak tangga itu sampai di tepian Sungai Ciwulan. Sungai itu melintasi Kampung Naga. Dengan menelusuri jalan di pinggir Sungai Ciwulan tidak lebih dari dua ratus meter, sampailah kita ke wilayah Kampung Naga yang dikelilingi pagar bambu. Di seberang sungai berdiri kokoh hutan kecil, sebuah bukit yang dipenuhi oleh pohon-pohon yang tampaknya berumur sangat tua. Leuweung Larangan itulah nama yang dikenal oleh masyarakat Kampung Naga. Leweung Larangan berada di seberang Sungai Ciwulan, sebelah timur perkampungan; di sebelah barat (tepat di belakang) perkampungan terdapat Leuweung Keramat.

Leuweung Larangan, yang terletak di sebelah timur pemukiman, disebut sebagai hutan tempat para dedemit. Para dedemit dipindahkan oleh Mbah Dalem Singaparana dari wilayah yang akan ditempatinya, yang kini menjadi wilayah yang ditempati masyarakat Kampung Naga. Leuweung Larangan merupakan tempat yang sama-sekali dilarang untuk diinjak oleh siapa pun, khususnya warga Kampung Naga. Jangankan memasukinya, menginjakkan sebelah kakinya di hutan tersebut merupakan pantangan yang sangat keras. Dengan demikian secara kosmologis, memilah dunia dalam tiga wilayah, yaitu Leuweung Keramat (tempat nenek moyang mereka dimakamkan) yang ada di sebelah barat, perkampungan tempat mereka hidup dan bercocok tanam di tengah-tengah, dan Leuweung Larangan (tempat para dedemit) di sebelah timur. Posisi perkampungan tidak secara langsung berhubungan dengan kedua hutan tersebut. Leuweung Larangan dibatasi oleh sebuah Sungai Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh tempat masjid, ruang pertemuan dan Bumi Ageung (tempat penyimpanan harta pusaka).

Berdasarkan pembagian wilayah tersebut, bila menggunakan kerangka teori antropologi budaya, mereka membangun kosmologi ruang: atas-tengah-bawah; atau baik-netral-buruk. Lueweung Larangan di arah timur dan leweung Keramat di arah barat sebagai sumber kekuatan sakral kehidupan keseharian mereka. Leuweung Larangan sebagai wilayah chaos, tempat semua dedemit dan roh jahat berada. Leweung Karamat berada di sebelah barat adalah sumber kebaikan; masjid dan harta pusaka menjadi penghubung untuk mengalirkan kesakralan ke arah barat.

Hutan Keramat dan Bumi Ageung yang berada di bagian barat masjid, di posisi kiblat, secara simbolis menunjukkan negosiasi ajaran Islam dan tradisi lokal. Menghadap ke kiblat berarti membayangkan penghadapan pada Kabah yang harus melalui penghadapan terhadap harta pusaka dan hutan keramat. Keinginan mendapatkan kesakralan Kabah didahului oleh penghubungan diri terhadap nenek moyang yang dikuburkan di Leuweung Keramat. Kosmologi ruang seperti ini barangkali yang menjadi dasar penolakan mereka terhadap warganya yang telah berhaji. Berhaji berarti berziarah secara langsung ke makam Orang Suci. Yang berhaji telah secara langsung berhubungan karena itu tak lagi membutuhkan kiblat yang dibungkus Bumi Ageung dan Leuweung Keramat.

Melihat kompisisi dan kedudukan Bumi Ageung tersebut memperlihatkan garis kosmologis yang tegas, yaitu bahwa seluruh rumah berpusat pada Bumi Ageung dan Bumi Ageung berhubungan atau berpusat pada Leuweung Keramat, tempat nenek moyang atau makam para Karuhun. Pandangan kosmologis yang menempatkan manusia (bumi tempat manusia berada) dalam impitan antara yang sakral (Leuweung Keramat) dan yang chaos (Leuweung Larangan), telah memosisikan manusia di antara dua keadaan tersebut. Hal tersebut tampak pada pandangan mereka tentang kosmologi waktu, yang secara umum dibagi dua, yaitu waktu nahas (tidak baik) dan waktu hade, baik. Keadaan kehidupan (dunia) manusia yang terimpit antara Leuweung Larangan (kebaikan, Yang Sakral) dan Leuweung Keramat (Ketidakbaikan, Yang Chaos) tersebut mengharuskan manusia untuk teliti dan hati-hati dalam menjalani kehidupan karena kedua dunia yang mengimpit tersebut telah pula memengaruhi waktu kehidupan manusia, waktu baik dan waktu tidak baik.

Terhadap waktu mereka membuat tiga patokan aktivitas, yaitu: Bismillah, berhubungan dengan awal dan asal (Yang Sakral), bernilai satu; Alhamdulillah, berhubungan dengan harapan hidup manusia yang baik (Dunia Tengah), dengan nilai dua; dan, Astaghfirullah, berhubungan dengan dunia yang tidak baik, bernilai tiga. Patokan ini menjadi dasar aktivitas mereka dalam mencari keselamatan, kemakmuran, dan penghindaran dari malapetaka. Misalnya, bagi orang yang hendak berobat disarankan untuk mulai berangkat pada hari yang bernaktu satu, sedangkan terhadap ruang (alam) mereka memiliki patokan nyangcang munding dina batu ku tambang sajeungkal, seug mun eling moal luput hami nyangcang kuda sabatekan begung; gaduh satapak munding seug mun eling moal luput mahi.

Di Kampung Naga, dialog Islam-Sunda menunjukkan bentuknya yang khas. Hirup kudu tungkul ka jukut tanggah ka sadapan, demikian patokan kebersahajaan mereka.***

*) Penulis adalah kontributor Program Dialog Islam-Sunda, Laboratorium Budaya DESANTARA Institut for Cultural Studies.***


http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0103/30/khazanah/lainnya05.htm Selengkapnya...

---

Budaya Sunda Adalah Kesusastraan & Pergelaran?
Oleh Drs. AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI, M.Ag.

KEPRIHATINAN masyarakat Sunda terhadap kelangsungan hidup dan eksistensi budaya Sunda sudah sampai di ambang frustrasi, khususnya dari kalangan budayawan dan pengamat budaya Sunda. Kekhawatiran tersebut tampak pada isu dan strategi yang mereka angkat dan mereka gulirkan dalam sejumlah media massa, khususnya media massa cetak dalam bentuk majalah, buletin dan jurnal budaya. Ada satu kesimpulan yang bisa kita ambil dari isu dan strategi yang mereka gulirkan, yaitu bahwa kebudayaan etnis Sunda identik dengan bahasa Sunda khususnya kesusastraan, baik dalam bentuk cerita fiksi (cerita pendek, cerita bersambung, puisi, cerita humor dan pergelaran), maupun dalam bentuk esai (artikel) yang juga berkenaan dengan persoalan tersebut. Beberapa persen tentang sejarah Sunda, biografi budayawan dan ”inohong” dan priayi Sunda dan "artikel" tentang kekecewaan pengamat budaya dan politik tentang kekecewaan serta kritik mereka terhadap politisi dan situasi politik khususnya tentang minimnya andil politisi orang Sunda dalam percaturan politik nasional. Dan, bisa dipastikan dengan tanpa pemikiran yang mengajukan alternatif penyelesaian.

Kita sebut saja (dengan tidak bermaksud mengecilkan arti penting dari peran dan jasa mereka dalam mempertahankan, menghidupkan dan mengembangkan kebudayaan Sunda) Majalah Sunda Mangle Panglipur, Swara Cangkurileung, Seni Budaya (BS), Cupumanik, dan yang lainnya serta sejumlah Home-Page tentang budaya dan masyarakat Sunda; secara keseluruhan menjadikan tema "sastra" dan pergelaran sebagai topik utamanya. Melihat hal tersebut, maka wajarlah bila budaya Sunda identik dengan "Sastra Sunda dan Pergelaran". Indikasi lain dapat pula kita lihat, terdapat karakteristik yang kurang lebih sama, kepedulian organisasi masa kedaerahan terbesar di Tatar Sunda, Damas, sebagai contoh, juga dengan tidak bermaksud mengecilkan arti penting dari peran dan jasa mereka dalam mempertahankan, menghidupkan dan mengembangkan kebudayaan Sunda. Organisasi ini lebih Concern terhadap persoalan yang kurang lebih sama. Lihat saja pada bidang penghargaan yang dianugerahkan oleh organisasi ini. Secara keseluruhan penghargaan yang diberikan adalah berkenaan dengan dunia sastra dan pementasan; kalaupun ada dalam bidang pendidikan hanya berkenaan dengan pendidikan bahasa Sunda, tidak yang lain.

Efek negatif dari fenomena ini adalah munculnya kesan bahwa orang Sunda yang peduli terhadap bangsa dan budaya Sunda hanya dari kalangan budayawan (yang dipersempit pada bidang sastra, pergelaran dan para ahli bahasa Sunda), sementara para petani, agamawan, ilmuwan dan orang Sunda yang berkecimpung dalam bidang lainnya "seolah-olah" dinafikan. Dan yang lebih memprihatinkan, bila kita ditanya tentang siapa saja masuk kategori inohong Sunda? Jawabannya mudah ditebak! Dan tentunya tidak perlu saya katakan. Lihat saja bila ada pertemuan para inohong Sunda di waktu-waktu yang telah lalu.

**

BARANGKALI kita perlu bertanya ulang, apa sesungguhnya yang disebut dengan kebudayaan? Khususnya kebudayaan Sunda. Pertama, dalam perspektif modern, kebudayaan lebih dilihat sebagai (pada sisi) proses kreatif bukan pada produk (artefak) budayanya. Proses kreatif yang melibatkan budi (pemikiran) dan daya (aksi) untuk kepentingan masyarakatnya. Kedua, kalau pun kita harus melihat kebudayaan dalam sisi produk, para ahli antropologi budaya sepakat bahwa produk atau wujud kebudayaan sangatlah banyak, bukan hanya dalam wujud karya sastra dan seni; yang disebut kebudayaan, tentunya juga termasuk kebudayaan lokal dalam hal ini kebudayaan Sunda, meliputi aspek yang sangat luas: seluruh wujud sebagai hasil dari aktivitas produktif dari manusia dalam kehidupan bermasyarakatnya.

Bila demikian, dan kita sepakat dengan makna (definisi) budaya yang dikemukakan oleh para ahli antropologi (budaya) maka media massa dan organisasi etnik Sunda, khususnya, yang berorientasi mempertahankan, menghidupkan dan mengembangkan kebudayaan Sunda harus juga mengembangkan perhatiannnya pada bidang-bidang tersebut. Kecuali, kalau memang media massa dan organisasi tersebut merupakan media masa dan organisasi yang secara ekplisit menyatakan diri bergerak dalam bidang tertentu, katakanlah dalam bidang: sastra atau pergelaran dan atau bidang spesifik lainnya. Karena, tentunya, kita tidak akan mau ikut-ikutan picik seperti media masa budaya dan organisasi sosal etnik lainnya.

Bila kita tetap bersitegang dengan cara pandang lama atau yang kini masih berlangsung, maka upaya kita untuk nanjeurkeun ajen-inajen ki Sunda tidak mustahil bila tidak mendapatkan respons dan dukungan dari masyarakat Sunda secara keseluruhan. Jangan-jangan sebenarnya mereka sangat concern dengan nasib kebudayaan Sunda, hanya concern mereka bukan dalam bidang sastra dan pergelaran. Bagi masyarakat demikian, tentunya tidak adil bila kita menyebut atau menuduh bahwa mereka tidak nyaah dan telah melupakan budayanya (Sunda) hanya gara-gara mereka tidak pernah membaca karya sastra Sunda dan tidak pernah menonton pergelaran karya seni Sunda, karena toh mereka pun tidak pernah membaca karya sastra dan pergelaran karya seni lainnya (selain sastra dan seni Sunda). Mungkin bagi merka, karena mayoritas masyarakat Sunda berada di bawah garis kemiskinan, mereka menganggap bahwa terlalu mahal dan mewah bila waktu dan uang mereka digunakan untuk membaca karya sastra dan menonton pergelaran, sementara kehidupan mereka sehari-hari pun koreh-koreh cok.

Mungkin karena memang akar budaya Sunda dibangun di atas sistem kehidupan (ladang kering) huma dan dibangun dari sistem sosial yang terdiri dari keluarga dekat (batih), maka lahirlah sikap yang cenderung individual (single fighter). Karena sikap individual tersebut, ketika kita memerlukan dukungan orang lain dan orang lain tidak mempedulikan kita dan tidak memberikan dukungan seperti yang kita harapkan, kita pun pada akhirnya cenderung sulit untuk memaklumi ketidakpedulian orang lain tersebut. Jangan-jangan ketidakpedulian mereka itu tiada lain karena kita pun tidak pernah berusaha untuk merangkul dan bersikap peduli terhadap persoalan (kehidupan) yang mereka hadapi dan alami. Atau, jangan-jangan hanya "perasaan" kitalah yang merasa tidak didukung. Seperti anak kecil yang pundung hanya karena tidak dibelikan permen oleh orang tuanya, kemudian merasa bahwa orang tuanya tidak sayang pada dirinya. Kita cenderung melakukan generalisasi terhadap satu fenomena atau persoalan "kecil" sebagai kenyataan dari seluruh fenomena dan persolan lainnya. Seperti telah digambarkan sebelumnya, gara-gara hanya sedikit yang membaca/mengonsumsi karya sastra Sunda, kita anggap bahwa hanya sedikit pula yang mencintai kebudayaan Sunda. Atau, hanya karena seorang elite politik Sunda tidak mendapatkan dukungan mayoritas dari masyarakat Sunda, maka kita cenderung menuduh bahwa mereka sama sekali tidak peduli dengan masa depan etnik Sunda.

Bila kita terus berpikir sedemikian sempit dan cenderung berpikir negatif (negative thinking) terhadap orang lain dan persoalan yang kita hadapi, maka bagaimana kita bisa secara bersama-sama bangun dari keterpurukan. Berkenaan dengan fenomena (mentalitas) ini akan sangat berarti apabila kita mengingat apa yang dikatakan K.H. Hasan Mustapa dalam salah satu dangdingnya: Katuhu paranti nyatu, Kenca paranti susuci, Mulya hina duanana, Milik aing nu sajati, Mun aing beurat sabeulah, Tandaning ngalain-lain.***

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0904/25/khazanah/lainnya1.htm Selengkapnya...

Si Kabayan

---

Si Kabayan
AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI

NAMANYA Kabayan. Dipanggil Si Kabayan sebagai ungkapan keakraban dan kedekatan yang demikian menyatu dengan kehidupan fansnya. Nama dari cerita lucu yang hidup dalam tradisi masyarakat Sunda. Sulit untuk mencari orang Sunda yang tidak mengenal nama tokoh cerita ini. Kecuali, anak kecil yang belum tahu apa-apa, atau orang tua yang sejak kecil buta dan tuli. Sedemikian terkenalnya tokoh ini sehingga menutupi keterkenalan tokoh yang mengorbitkan nama tersebut. Bahkan, akhirnya nama yang mengorbitkan nama tersebut sama sekali tidak pernah dikenal.

Si Kabayan merupakan tokoh yang memiliki karakteristik yang unik, khususnya dalam imajinasi masyarakat Sunda. Tokoh ini digambarkan sebagai "figur" yang memiliki karakteristik lucu, polos, namun memiliki kecerdasan yang sulit diduga. Khususnya Si Kabayan, sering digambarkan sebagai tokoh yang serbabisa, bagaimana tidak, bila ia kadang menjadi sosok, santri, kadang menjadi sosok kiai, dukun dan tokoh lainnya. Bahkan, dalam terbitan terakhir Yus R. Ismail menceritakan Si Kabayan malih rupa menjadi seorang Sufi. Pokoknya dalam apapun gambaran Si Kabayan menjadi sah, sejauh lucu dan cerdas. Paling tidak harus lucu, itu yang sama sekali tidak boleh hilang dari karakter Si Kabayan. Selain Si Kabayan terdapat tokoh lain dalam khazanah sastra Sunda, yaitu Lengser atau Mamang Lengser kadang dipanggil Ua Lengser.

Tidak jauh berbeda dengan imaji orang tentang Si Kabayan, Mamang Lengser pun senantiasa digambarkan kurang lebih sama. Bedanya dengan Si Kabayan, Mamang Lengser senantiasa dihubungkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan, kerajaan. Mamang Lengser, cocok dengan namanya yang kurang lebih berarti "turun" (lengser, lungsur=turun), ia sering diposisikan sebagai kepanjangan titah Sang Raja. Lengser adalah "perwujudan" dan "perwakilan" dari Sang Prabu atau Raja yang turun menemui dan menyatu dengan rakyatnya. Dan perbedaan yang lain adalah Mamang Lengser dikenal dalam naskah-naskah sastra klasik Sunda, sedangkan Si Kabayan tidak demikian. Bukan kebetulan bila kata kabayan pun, dalam bahasa Sunda, memiliki makna yang kurang lebih sama, yaitu "utusan".

Keberadaan Mamang Lengser dan Si Kabayan merupakan prototipe kelas sosial yang tidak pernah dikenal dalam teori modern mana pun. Mamang Lengser, sebagai contoh, kalau pun ia merupakan perwujudan dan kepanjangan dari Sang Prabu, tetapi fungsi dan posisinya ini bukan merupakan fungsi dan posisi yang bersifat formal. Walaupun dalam kondisi tertentu, Mamang Lengser kadang seolah-olah berposisi sebagai Penasihat Raja, ia tetap berposisi sebagai masyarakat biasa dan tidak memiliki fasilitas apa pun dari kerajaan. Kalaupun Mamang Lengser diposisikan (dalam sistem pemerintahan modern, trias politik) sebagai wakil rakyat (DPR), sama sekali tidak bisa dianggap demikian. Karena, Mamang Lengser sama sekali tidak memiliki hak wewenang sebagaimana halnya seorang legislatif. Posisi Mamang Lengser hanya mungkin dibandingkan dengan punakawan dalam dunia pewayangan. Apakah keberadaan Mamang Lengser ini mengadopsi cerita pewayangan yang memiliki setting sosial yang kurang lebih sama? Rasanya tidak juga, karena bisa dipastikan bahwa keberadaan Mamang Lengser (dalam cerita lisan, buku tulis) lebih tua dibandingkan cerita pewayangan? Bahkan, jangan-jangan keberadaan punakawan dalam pewayanganlah yang mengadopsi keberadaan Mamang Lengser dalam cerita lisan masyarakat Sunda. Hal ini dapat dipahami bila melihat kenyataan bahwa dalam naskah Mahabrata maupun naskah lainnya yang menjadi sumber cerita pewayangan tidak dikenal tokoh-tokoh punakawan tersebut.

Bila melihat setting yang melatarbelakangi kedua tokoh tersebut, yang pertama Mamang Lengser dalam setting suatu masyarakat kerajaan, sedangkan yang kedua (Si Kabayan) dalam masyarakat "tidak tentu". Tidak tentu, karena jarang ada penulis cerita atau penutur cerita Si Kabayan yang menjelaskan secara rinci sistem kekuasaan atau pemerintahan apa yang berlaku pada masyarakat di mana Si Kabayan hidup. Memang sering disebut keberadaan kuwu, lurah atau kepala desa, demikian juga dengan lebe dan mantri pulisi, tetapi hal itu bisa-bisa saja sekadar pengalihan fungsi-fungsi lembaga sosial klasik dalam fungsi lembaga sosial modern. Tapi juga, tidak bisa dikatakan bahwa Si Kabayan hidup dalam setting masyarakat klasik Sunda (kerajaan), karena jarang juga yang menceritakan Si Kabayan dalam setting kehidupan demikian. Barangkali ia lebih merupakan cerita dari negara entah berantah, negara yang hanya ada dalam imajinasi masyarakat Sunda. Negara yang memungkinkan si penutur menjadi aman untuk melemparkan kritik sepedas apa pun, tembak sana tembak sini, tanpa merasa perlu khawatir menyinggung seseorang secara langsung. Uniknya, ada cerita bahwa terdapat sejumlah makam tokoh Si Kabayan di beberapa tempat. Wallahu'alam.

**

DI Timur Tengah sana, terdapat juga tokoh sejenis. Tokoh yang juga memiliki karakteristik yang kurang lebih sama, di antaranya tokoh Ali Baba, Nasruddin dan tokoh-tokoh lainnya. Tokoh-tokoh tersebut pada umumnya digambarkan sebagai tokoh dari kalangan sufi. Komunitas yang pada saat lahirnya tokoh tersebut gencar melakukan kritik terhadap para penguasa, khalifah, dan, tokoh-tokoh tersebut, khususnya Nasruddin dianggap sebagai tokoh yang benar-benar ada, hidup. Sulit dipastikan adakah hubungan saling memengaruhi kemunculan tokoh yang berkarakter hampir mirip tersebut. Bahkan untuk dikira-kira pun sulit, karena tidak ada fakta yang mendukung. Selain itu, adanya kesamaan antara satu hal dengan hal lain di dunia ini, sejauh berhubungan dengan kreativitas manusia, tidak semuanya bisa dianggap adanya saling pengaruh-memengaruhi. Bahkan jangan-jangan tidak pernah ada kontak dalam persoalan tersebut.

Bila demikian, khususnya membaca keberadaan tokoh Mamang Lengser dan Si Kabayan, dalam masyarakat Sunda, tradisi kritik yang cerdas dan membangun bukanlah hal yang asing dalam kehidupan masyarakat Sunda. Tidak pernah ada atau lembaga tertentu yang merasa tersinggung dengan ungkapan dan gaya hidup Mamang Lengser maupun Si Kabayan. Dan tidak pernah juga ada cerita penutur maupun penulis cerita ini yang dipanggil untuk dimintai keterangan. Hal ini dimungkinkan karena karakteristik dari metode penceritaan kedua tokoh tersebut menggunakan metode yang benar-benar khas.

Pendengar atau pembaca "dipaksa" oleh penulis maupun penutur untuk melakukan "transposisi", di mana Si Kabayan tidak lagi berposisi sebagai objek baca ataupun objek dengar, dan tidak pernah berada dalam posisi sebagai "alat bicara" atau media bagi penutur maupun penulisnya. Karena Si Kabayan senantiasa berbicara atas nama pembaca maupun pendengar.

Dalam penuturan cerita Si Kabayan bagi sang pembaca atau pendengar, sang tokoh tidak pernah berposisi sebagai pembicara aktif. Yang berbicara dalam cerita tersebut tiada lain dari sang pendengar dan atau sang pembaca itu sendiri. Si Kabayan bukanlah orang lain, melainkan diri sang pembaca atau pendengar itu sendiri yang sedang berubah nama. Karakteristik kedua tokoh tersebut menjadi tampak lucu dan kritiknya sedemikian tajam namun tidak menusuk, karena yang berbicara adalah diri kita sendiri. Si Kabayan adalah bayang-bayang dalam cermin, "bukan cermin". Si Kabayan hadir sebagai impian dalam tidur nyenyak yang memutar ulang pengalaman-pengalaman kita dalam mimpi yang nyata. Pengalaman yang lucu, kocak, polos dan kadang pikasebeleun. Kita bisa tertawa lepas mendengar dan membaca cerita Si Kabayan, kita benar-benar memahami apa yang dikatakan Si Kabayan, melalui perkataan dan perilakunya. Karena perkataan dan perbuatan Si Kabayan adalah perkataan dan perbuatan kita sendiri. Lain tidak.

Si Kabayan bukanlah tokoh yang demikian sempurna tanpa cacat. Bahkan kini muncul anggapan dan pandangan yang menganggap Si Kabayan sebagai tokoh yang tidak patut untuk dicontoh, tidak cocok lagi dijadikan ikon kesundaan, karena kemalasannya. Lebih dari itu kini tokoh Sunda atau sejumlah masyarakat Sunda yang mempersalahkan Si Kabayan sebagai penyebab karakteristik masyarakat Sunda yang dianggap malas dan tidak memiliki etos kerja modern. Orang yang berpikir demikian, dalam teorema pendidikan yang membebaskan Paulo Freire dikategorikan sebagai individu masyarakat yang memiliki mental naif. Individu yang begitu terang melihat orang lain, tapi buta dalam melihat dirinya sendiri. Tahu tentang kesalahan tanpa mampu memberikan solusi. Individu yang jauh dari sikap dewasa apalagi bertanggung jawab.

Dengan demikian, sejauh kita bisa tertawa ataupun bahkan merasa sebal ketika kita membaca cerita Si Kabayan (atau cerita sejenis), artinya bahwa rohani dan akal pikiran kita masih sehat, karena kita masih bisa mengenal sifat-sifat kocak dan pikasebeleun dalam diri kita. Lebih dari itu, kita masih bisa jujur pada diri kita sendiri.***

http://pikiran-rakyat.com/cetak/1004/23/khazanah/utama02.htm
Sabtu, 23 Oktober 2004 Selengkapnya...

---

Bisnis Pendidikan, Etiskah?
Oleh Drs. AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI

SECARA teoretis tidak bisa disangkal bahwa biaya pendidikan atau penyelengaraan pendidikan sangatlah tinggi. Asumsi ini paling tidak hidup di benak kalangan profesional dan para ahli pendidikan. Semakin tinggi biaya pendidikan, semakin tinggi kualitas pendidikan.

Sepertinya asumsi ini perlu dipertanyakan ulang. Mungkin benar bahwa semakin tinggi biaya pendidikan semakin tinggi pula kualitas pendidikan, akan tetapi sulit dan mahalkah pendirian lembaga pendidikan? Pertanyaan itu pernah terlontar dalam sebuah obrolan sambil lalu yang tiba-tiba menjadi sangat serius. Seorang teman jebolan perguruan tinggi luar negeri menceritakan mahal dan rumitnya penyelenggaraan lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan tinggi. Yang lain mengungkap sejumlah sarat, prasarat, serta sarana yang mesti disediakan, secara teoretis tentunya. Pokoknya penyelenggaraan pendidikan tinggi bukan sesuatu yang bisa dilakukan sambil lalu.

Di tengan pembicaraan yang serius tersebut, tiba-tiba salah seorang teman tertawa terbahak-bahak. Ia bilang bahwa mendirikan lembaga pendidikan itu murah dan mudah. Cukup mempunyai yayasan dan beberapa lokal kelas. Bahkah, bila membangun lokal kelas masih dianggap terlalu mahal dan tidak ada dananya, bisa nebeng (ngontrak, sewa) lokal kelas dari sekolah yang ada. Kurikulum dan tetek bengek konsep sistem pendidikan yang akan didirikan tinggal menjiplak dari lembaga pendidikan yang telah berdiri. Praktis, mudah dan murah! Tidak perlu survei atau studi kelayakan segala macam. Mendirikan TK, sekolah dasar, sekolah menengah maupun perguruan tinggi, sama saja. Perbedaannya tidak seberapa! Urusan kualitas? Siapa yang peduli dengan kualitas, toh orang hanya peduli dengan ijazah! Dari pada ijazah palsu, mendingan ijazah yang asli kalau pun dikeluarkan oleh lembaga pendidikan yang bangunannya ngontrak!

Betulkah sedemikian murahnya mendirikan lembaga pendidikan? Ketika itu obrolan menjadi simpang-siur antara persolan penyelenggaraan lembaga pendidikan dengan bisnis pendidikan. Selama ini, wacana tentang bisnis pendidikan selalu dianggap tabu. Bahkan, tidak lama berselang, demo antibisnis pendidikan, bersamaan dengan itu media massa menyorot tajam persoalan tersebut yang didasarkan pada sejumlah indikasi. Yaitu tingginya biaya pendidikan yang disebabkan pengurangan subsidi pendidikan sebagai konsekuensi dari realisasi otonomi pendidikan.

Kini, dengan diterapkannya kebijakan otonomi pendidikan, yang semakin diperkecil dan akhirnya ditiadakannya dana (subsidi) pendidikan, secara konsekuensional bisnis pendidikan menjadi isu yang mengemuka dengan sendirinya. Dengan kata lain, pergeseran lembaga pendidikan sebagai lembaga sosial non-profit (nirlaba) menjadi lembaga yang mau tidak mau harus mempertimbangkan kemungkinan profit yang lebih besar. Bila tidak, ia akan mati dengan sendirinya, karena tidak bisa membiayai aktivitas pendidikannya. Persoalan ini, pada akhirnya bukan hanya berlaku bagi lembaga pendidikan swasta akan tetapi juga lembaga pendidikan negeri. Atau lebih tepatnya tidak ada lagi lemabaga pendiidkan (sekolah) negeri atau pun swasta.

Bisnis pendidikan, persoalan itu yang kemudian mencuat ke permukaan. Etiskah bicara dan menyelenggarakan bisnis pendidikan dalam keterpurukan bangsa ini. Atau lebih substansial lagi, etiskah bicara dan menyelenggarakan bisnis pendidikan? Atau, apakah aktivitas penyelenggaraan pendidikan layak dianggap sebagai barang jasa yang memiliki nilai ekonomi tinggi?

Bila pendirian lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh yayasan pendidikan dengan tanpa memiliki lembaga usaha yang menopang pembiayaan penyelenggaraan pendidikan tersebut, atau bahkan lembaga pendidikan itu sendirilah yang menjadi penopang dana yayasan tersebut, mana bisa kita menyebut bahwa dasar pendirian lembaga pendidikan bahkan pendirian yayasan tersebut sama sekali bersifat nirlaba, bukan bisnis.

Dengan kata lain, lembaga pendidikan tersebut bukan didirikan dan diselenggarakan sebagai dimensi sosial dari suatu perusahaan besar, melainkan lembaga pendidikan itu merupakan perusahaan itu sendiri. Dengan kata lain, pendirian lembaga pendidikan benar-benar didasarkan pada orientasi bisnis. Lebih tegas lagi, boleh disebutkan bahwa ada kemungkinan pendirian yayasan pendidikan tidak lebih sekadar kedok untuk mendirikan bisnis pendidikan. Kedok etik dan menghindari besarnya pajak yang harus dikeluarkan.

Ratusan ribu lebih lembaga pendidikan di Indonesia, dari mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi, namun berapa persenkah (bila ada) dari lembaga pendidikan itu didirikan sebagai "kerja" yayasan yang ditopang oleh perusahan besar? Katakan seperti funding (yayasan) yang didirikan oleh perusahaan raksasa. Maka wajar kalau pun ada, yayasan pendidikan yang benar-benar murni nirlaba, karena ia tidak memiliki sumber dana yang memadai, lembaga tersebut dengan terpaksa berjalan tertatih-tatih hidup dengan dana yang sangat minim dari SPP, atau sumbangan lain yang tidak tentu dan tidak seberapa.

Yayasan pendidikan seperti ini terlahir dari keprihatinan komunitas kecil yang didorong karena tidak ada atau minimnya sekolah di daerahnya. Atau, keprihatinan terhadap sistem pendidikan nasional yang tergambar dari kurikulumnya, yang meraka anggap terlalu barat dan tidak memanusiakan. Yayasan seperti ini biasanya didirkan oleh komunitas majelis taklim atau pesantren yang berada daerah, atau kota-kota kecil. Bukan bisnis.

Dengan demikian, kesadaran nilai penting dan vitalnya institusi dan sarana pendidikan bukan hanya sekadar disadari oleh masyarakat Indonesia, bahkan mereka ikut serta secara aktif menyelenggarakan lembaga pendidikan, yang kadang tanpa mempertimbangkan kelayakan dan standar "formal" pendidikan yang didirikannya. Hal tersebut bisa dimaklumi, karena pendirian lembaga pendidikan yang mereka lakukan lebih didasarkan pada kesadaran moral belaka, bukan didasarkan pada profesonalisme.

Bila menjamurnya penyelenggaraan pendidikan yang didasarkan pada orientasi bisnis, apalagi kecenderungan tersebut diperkuat oleh adanya gerakan otonomi lembaga pendidikan di mana setiap lembaga pendidikan (termasuk lembaga pendidikan negeri) dituntut untuk menghidupi dan membiayai diri sendiri, maka bisnis di sektor pendidikan bukan lagi merupakan sesuatu yang mesti dianggap tabu dan tidak etis.

Persoalannya bagaimana kode etik dan prinsip-prinsip bisnis di sektor pendidikan ini dirumuskan, sehingga tidak mengabaikan kualitas pendidikan. Bahkan, bagaimana logika bisnis sektor pendidikan ini dirumuskan di atas prinsip, penyelenggaraan pendidikan dengan biaya serendah-rendahnya dengan kualitas setinggi-tingginya, dan bukan sebaliknya.

Secara umum pengelola lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan negeri yang tidak memiliki pengalaman mencari, mengolah dan mengelola dana secara mandiri, benar-benar kelimpungan. Di satu sisi mereka membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk bisa survive, di sisi lain mereka berhadapan dengan beban etik dan fakta bahwa mereka sama sekali tidak memiliki pengalaman bisnis dan memasarkan lembaga pendidikannya.

Fenomena bisnis di sektor pendidikan pada akhirnya harus dilihat sebagai sebuah kemungkinan dan kesempatan yang positif, baik dari sisi praktis maupun sisi pengembangan khasanah teori-teori dan bidang ilmu pendidikan. Pada sisi praktis, bisnis ini memungkinkan lahirnya lapangan kerja yang profesional, baik pada bidang manajemen pendidikan, ekonomi pendidikan, pemasaran dan advertising dan lain sebagainya, serta akan meningkatkan kemampuan lembaga pendidikan tersebut untuk survive.

Dan secara akademik lahirnya cabang ilmu pengatahuan yang baru, yang berkenaan dengan kepentingan praktis tersebut menjadi mutlak adanya. Dan untuk itu, diperlukan suatu kajian yang spesifik dalam bidang tersebut, dan bukan mustahil untuk didirikannya progran studi yang relevan. Dengan adanya komunitas profesional dalam bidang tersebut, maka lahirnya kecenderungan dan tuntutan bisnis atau wirausaha dalam sektor pendidikan sedikit banyaknya bisa dipertanggungjawabkan secara akademis dan profesional.

Dengan demikian perguruan tinggi dan fakultas pendidikan memungkinkan untuk melebarkan sayapnya ke wilayah yang lebih luas. Bukan hanya berkisar pada persoalan proses, sarana dan metode pendidikan serta persoalan konvensional lainya, akan tetapi juga bisa berbicara pada wilayah yang lebih luas dan menjanjikan. Studi di fakultas atau perguruan tinggi bidang pendidikan bukan hanya sebatas untuk menjadi guru atau ahli dalam bidang pendidikan (dalam pengertian konvensional), akan tetapi juga menjadi ahli ekonomi, bisnis dan manajemen pendidikan yang memiliki peluang dan keahlian untuk membangun suatu industri pendidikan yang memiliki peluang ekonomi yang lebih menjanjikan.

Civitas akademika sebuah lembaga pendidikan yang selama ini sering dipandang sebagai insan pengabdi (komunitas dan masyarakat Umar Bakri) yang dianggap berseberangan dengan kepentingan-kepentingan untuk meningkatkan taraf ekonomi yang layak, bukan mustahil mampu menyejajarkan dengan komunitas wirausahawan (pelaku bisnis). Dengan meningkatnya taraf hidup mereka, "barangkali" bisa diharapkan pengabdian dan profesionalisme Umar Bakri ini meningkat karena mereka bisa lebih concern dengan profesinya, tidak perlu mencari tambahan dari kiri dan kanan. Insya Allah.***

Penulis dosen filsafat di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/25/0801.htm Selengkapnya...

---

Kuring Urang Sunda (?)

Euleung, euy! Euleung!
Dikurkur di unggal lembur,
Disayangan kari cangkang;
Eureun, euy! Eureun!
Ditutur kalah malabur,
Diteang kari kalangkang.

(H. Hasan Mustapa dalam naskah: Bale Bandung)

Lahir dari rahim keluarga Sunda pituin, dan sejak kecil hidup dalam lingkungan masyarakat Sunda. Saya orang Sunda! Karena biasa, maka tidak ada hal yang cukup menarik untuk diperhatikan dan dijadikan bahan pembicaraan berkenaan dengan ke-Sunda-an saya. Baru setelah tahu dan sadar bahwa selama ini atmosfir budaya asing lebih dominan dalam membentuk prilaku dan konstruk nilai budaya yang hidup dalam pikiran dan pengalaman bathin. Padahal selama ini, bahkan sejak lahir ke dunia ini, hidup dan dibesarkan dalam masyarakat Sunda, atau tepatnya orang Sunda. Mengunakan bahasa Sunda dan mengaku sebagai orang Sunda. Tapi, betulkan saya orang Sunda?

Masih ada sedikit pengalaman bathin kesundaan yang mungkin masih berkarat dalam hati. Ketika mendengar lagu atau musik Sunda, hati ini sangat mudah terhanyut, khususnya lau-lagu dan musik Sunda yang bernuansa klasik. Seperti degung, cianjuran atau kecapi-suling, walau pun tidak pernah bisa memainkan alat musik dan menyanyikan lagu-lagu Sunda tersebut. Atau, bila membaca serta membicarakan peristiwa palagan Bubat, biasanya emosi kedaerahan sangat mudah muncul. Itu pun bila hal-hal tersebut bisa disebut sebagai ciri orang Sunda, yaitu orang yang masih memiliki kepekaan rasa bahkan mungkin emosi tatkala disentuh oleh sesuatu yang bernuansa kesundaan atau tragedi-tragedi yang dialami sejarah daerahnya.

Namun, muncul keraguan dalam diri, semua muncul karena memang sejak kecil terbiasa dan dibiasakan dengan musik-musik klasik, Barat. Jangan-jangan perasaan suka terhadap musik klasik Sunda tersebut tak lebih dari ketersambungan rasa seni yang bersifat universal. Ada kesamaan nuansa di sana. Demikian juga kemunculan emosi tatkala membaca atau membicarakan tentang palagan Bubat, rasa-rasanya hanya muncul dari perasaan imperior yang ingin berontak, tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Palagan Bubat hanyalah perwakilan dari perasaan imperior.

Perasaan-perasaan tersebut sering menimbulkan pertanyaan dalam diri, jangan-jangan “Kuring bukan orang Sunda”. Apa lagi ada yang menyebut bahwa orang Sunda harus malu bila tidak bisa main kecapi, suling, serta alat-alat musik Sunda lainnya. Atau, berbahasa Sunda dengan baik (ala Mataram-an). Uniknya, pembicaraan tentang ke-Sunda-an senantiasa menjadikan era Pajajaran sebagai model masyarakat Sunda “ideal” atau tepatnya original, akan tetapi konstruk budaya yang disosialisasikan adalah Sunda-Mataram, baik bahasa maupun cita-rasa seninya. Mungkin karena kebanyakan budayawan terlahir dari keluarga Priayi Sunda-Mataram. Priayi yang memiliki mental Pun Boncel, yang berada dalam kuasa budaya lain, yang tidak pernah merasa risih untuk menolak asal-usulnya, poho ka purwadaksi-na. Lupa pada warisan primordialnya. Lebih bisa menerima budaya Mataraman, dan menolak budaya Sunan Gunung Djati yang menurut cerita karuhun Sunda adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Bahkan dengan tidak risih pula menolak Cirebon sebagai bagian integral dario teriterorial Sunda. Padahal sejak jaman kerajaan Galuh dan Kawali merupakan salah satu jalur vital dan strategis yang menghubungkan Sunda dengan kerajaan lain di belahan dunia lain. Yang, kemudian menjadi pusat kekuasaan Sunan Gunung Djati. Sunan Gunung Djati kemudian mengembangkan sayapnya ke wilayah Banten dengan mengutus dan menjadikan anaknya sebagai penguasa wilayah tersebut.

Kini, salah satu dari wilayah kekuasaan Sunan Gunung Djati tersebut telah memisahkan diri dari Jawa Barat. Jangan-jangan, nanti, yang tersisa hanyalah wilayah yang dulu pernah dikuasai oleh Mataram. Maka, konstruk budaya yang terbentuk adalah budaya Mataram. Bila hal itu terjadi, maka adagium “ngamumule budaya Sunda” tidak lagi memiliki makna yang sbeenarnya, karena tidak dibarengi dengan itikad ngamumle kosmos spiritual dan wilayah atau kesundaannya. Pada jaman kerajaan Kawali, dan Pajajaran Banten khsusnya “Badui” memili posisi spiritual yang sangat tinggi, ia bahkan merupakan “axis mundi” orang Sunda dan tatar Sunda dengan penguasa langit dan bumi. Pada masa Sunan Gunung Djati Cirebon pun pada akhirnya menjadi pusat spiritual orang Sunda, paling tidak dari kalangan Islam-Sunda. Namun, kini salah satu wilayah spiritual Sunda tersebut telah terpisah dari orang-orang Sunda wilayah timur. Bila demikian, latar histori sebagai khazanah primordial Orang Sunda telah hilang dari kehidupan masa depannya. Kini, yang tersisa dalam khazanah sejarah spiritual Orang Sunda bagian Timur adalah Cirebon. “Belahan Sunda” yang jarang masuk dalam pembicaraan tokoh budayawan Sunda.

Semangat primordial (bukan primordialisme) merupakan semangat yang bisa melahirkan rasa percaya diri pada masyarakat suatu bangsa, seperti kepercayaan primordial bangsa Jepang bahwa mereka keturunan Dewa Matahari. Semangat yang melahirkan rasa percaya diri dan harga diri bangsanya. Semangat yang memecut bangsanya untuk maju dan melangkah lebih pasti. Ia tidak pernah mengutuk dikarenakan orang lain berada di depannya, asal ia tidak pernah berhenti untuk melangkah. Ia merasa bahwa ia adalah bangsa terbaik yang ditakdirkan Tuhannya untuk menjadi bangsa yang luhur dan maju.

Bila demikian, wajar bila berbicara tentang Sunda dengan segala aspeknya, ibarat menggantang asap, menegakkan benang basah. Karena semua pembicaraannya tidak memiliki semangat sejarah spiritual, tak lebih dari penyaluran emosi belaka. Pembicaraan yang didasarkan pada dendam, bukan harga diri dan rasa percaya diri. Pembicaraan tentang palagan Bubat, sebagai contoh, lebih mengarah pada pemunculan emosi ketertindasan untuk menyulut dendam. Sisi lain yang lebih positif dari peristiwa palagan Bubat jarang dibicarakan. Sebagai contoh, bagaimana penyelesaian dan keputusan yang diambil oleh Prabu Bunisora Suradipati yang dikenal dengan Prabu Batara Guru Pangadiparamarta Janadewabrata. Ia mengambil cara menahan diri, sesuai dengan prinsip ajaran spiritualnya, ajaran spiritual Sunda. Bukan dengan cara membabibuta dan teror. Tragdi di mata Prabu Batara Guru bahkan menjadi motivasi untuk meningkatkan kualitas spiritualnya, memperkuat kepribadiannya. Dan, menyalurkan “dendam” pada aspek-aspek positip, sehingga kerajaan tersebut mencapai kejayaannya. Ia mempersiapkan Raja Muda Wastu Kencana, putra Sang Hyang Bubat sebagai “tabungan” bagi kejayaan Sunda di masa depan. Sikap yang dilakukan pula oleh Raja Pajajaran Prabu Siliwangi ketika mengalami pertentangan dengan generasi baru Sunda, Kean Santang yang memiliki keyakinan yang berbeda. Hal yang sama pula dilakuakn Sunan Gunung Djati ketika kenyataan ia sebagai turunan Prabu Siliwangi, pewaris Kerajaan Pajajaran ditolak karena ia menganut keyakinan yang berbeda.

Kuring orang Sunda, demikian yang dikatakan salah seorang teman yang berasal dari Banten, demikian juga temanku yang orang Cirebon. Saya bukan orang Jawa, demikian teman yang berasal dari Cirebon itu berkata penuh emosi. Orang yang sering dijuluki oleh orang Priangan sebagai Jawa reang, karena mereka tidak menggunakan bahasa Sunda (?) sebagai bahasa sehari-harinya. Saya jadi bingung sendiri, karena saya sendiri tidak tahu Bahasa Sunda yang betul-betul Sunda. Apakah bahasa orang Priangan yang memiliki undak-unduk Bahasa, Bahasa Banten yang kasar (menurut orang Priangan), atau Bahasa Banten yang disebut orang Priangan sebagai Bahasa Jawa, walaupun orang Jawa sendiri belum tentu mengerti Bahasa Cirebon. Atau mungkinkah Sunda sendiri sejak dulu memang memiliki sejumlah bahasa bukan sekedar dialek. Bila benar, maka kesundaan seseorang sulit bila diukur oleh bahasanya saja. Paling tidak “harus” diakui bahwa terdapat banyak atau bukan hanya satu-satunya bahasa yang dipakai oleh orang Sunda, atau orang yang mengakui dirinya sebagai orang Sunda.

Atau, cukupkah hanya dengan menyebut dirinya sebagai orang Sunda, dengan dasar bahwa ini keturunan pituin orang Sunda? Apakah mereka gugur gugur sebagai orang Sunda bila ia lebih pasih berbahasa “lain”, atau bahkan tidak mengerti bahasa Sunda, kalaupun ia keturunan asli Sunda? Seperti halnya orang Sunda sekarang, generasi yang lahir dari rahim Sunda pituin, yang tidak mengenal dengan baik bahasanya (Sunda-Mataram ?), tidak mengenal khazanah budayanya. Ia tidak bisa bermain musik degung, kecapi, suling. Tidak pula pernah mendendangkan lagu-lagu atau tembang Sunda, bahkan tidak jarang mereka menganggapnya sebagai seni kampungan. Lebih dari itu, ia pun tidak pernah perduli apakah ia orang Sunda atau bukan. Apakah ia masih dianggap orang Sunda?

Sepertinya sulit untuk merumuskan kepastian seseorang disebut Sunda, karena Sunda bukanlah sebuah organisasi formal yang memiliki sejumlah syarat dan kriteria keanggotaan. Ketidakperdulian mereka, generasi muda keturunan Sunda pituin, itu jangan-jangan karena ketidakperdulian “kelompok” tertentu terhadap budaya Sunda. Ia hanya bangga bahwa dirumahnya tersimpan sejumlah naskah asli tentang kesundaan, dirinya memiliki kemampuan dalam bidang kebudayaan Sunda, tanpa memberi peluang yang lebar pada yang lain untuk menikmatinya, memanfaatkannya, mengetahuinya. Ia sadari bahwa apa yang dimilikinya dan ia simpan di lemari antiknya adalah milik semua orang Sunda, yang ditipkan leluhurnya melalui tangannya. Bila menggunakan term “penghianat bangsa” atau paling tidak “orang yang tidak perduli dengan budaya bangsanya”, siapakan diantara mereka yang merupakan “penghianat” atau “orang tidak perduli dengan budaya bangsanya”?

Tampaknya kita telah terbiasa untuk mencari kambing hitam dari kesalahan yang telah kita lakukan. Keterasingan dari budaya lokal, Sunda, yang dialami oleh generasi muda Sunda sering ditimpakan pada sistem pendidikan. Padalah sejad dahulu pewarisan budaya tidak pernah dilakukan melalui jalur pendidikan formal, melainkan melalui pendidikan sosial secara langsung. Dan, pendidikan sosial yang berkenaan dengan aspek-asepk informatif pada era modern sangat tergantung pada luasnya kesempatan orang untuk membaca dan menyimak, buka melalui tradisi lisan. Kedewsaan berfikir masyarakat, seperti dialami oleh masyarakat Yunani Klasik yang telah melahirkan tradisi berpikir filsafat, terjadi tatkala budaya lisan beralih menjadi budaya tulisan. Yaitu, tatkala cetita mitos yang bersifat lisan beralih menjadi tulisan oleh tangan Homerus.

Dengan demikian, bila khazanah Sunda klasik hanya ada dilemari dan dalam ingatan segelintir orang , tanpa upaya untuk mensosialisasikannya melalui tulisan, maka jangan salahkan generasi muda bila ia tidak pernah mengenal sejarah bangsanya dan budaya bangsanya. Jangan-jangan ketidakpedulian pemegang pusaka Sunda tersebut adalah cerminan dari sikap "diam" para leluhurnya yang ditafsirkan secara salah, atau dengan cara yang berbeda. Hanya Tuhan yang tahu.

Selengkapnya...