Tuesday, January 29, 2008

KURING URANG SUNDA (?)

---


(Hariring Nu Hudang Gering)

Ahmad Gibson Al-Bustomi
Euleung, euy! Euleung!
Dikurkur di unggal lembur,
Disayangan kari cangkang;
Eureun, euy! Eureun!
Ditutur kalah malabur,
Diteang kari kalangkang.

H. Hasan Mustapa
dalam naskah: Bale Bandung

Lahir dari rahim keluarga Sunda pituin, dan sejak kecil hidup dalam lingkungan masyarakat Sunda. Saya orang Sunda! Karena biasa, maka tidak ada hal yang cukup menarik untuk diperhatikan dan dijadikan bahan pembicaraan berkenaan dengan ke-Sunda-an saya. Baru setelah tahu dan sadar bahwa selama ini atmosfir budaya asing lebih dominan dalam membentuk prilaku dan konstruk nilai budaya yang hidup dalam pikiran dan pengalaman bathin. Padahal selama ini, bahkan sejak lahir ke dunia ini, hidup dan dibesarkan dalam masyarakat Sunda, atau tepatnya orang Sunda. Mengunakan bahasa Sunda dan mengaku sebagai orang Sunda. Tapi, betulkan saya orang Sunda?
Masih ada sedikit pengalaman bathin kesundaan yang mungkin masih berkarat dalam hati. Ketika mendengar lagu atau musik Sunda, hati ini sangat mudah terhanyut, khususnya lagu-lagu dan musik Sunda yang bernuansa klasik. Seperti degung, cianjuran atau kecapi-suling, walau pun tidak pernah bisa memainkan alat musik dan menyanyikan lagu-lagu Sunda tersebut. Atau, bila membaca serta membicarakan peristiwa palagan Bubat, biasanya emosi kedaerahan sangat mudah muncul. Dalam keadaan seperti itu, kesadaran bahwa saya Urang Sunda, sangat terasa. Itu pun bila hal-hal tersebut bisa disebut sebagai ciri orang Sunda, yaitu orang yang masih memiliki kepekaan rasa bahkan mungkin emosi tatkala disentuh oleh sesuatu yang bernuansa kesundaan atau tragedi-tragedi yang dialami sejarah daerahnya.

Namun, muncul keraguan dalam diri, semua muncul karena memang sejak kecil terbiasa dan dibiasakan dengan musik-musik klasik, Barat. Jangan-jangan perasaan suka terhadap musik klasik Sunda tersebut tak lebih dari ketersambungan rasa seni yang bersifat universal. Ada kesamaan nuansa di sana. Demikian juga kemunculan emosi tatkala membaca atau membicarakan tentang palagan Bubat, rasa-rasanya hanya muncul dari perasaan imperior yang melahirkan sikap berontak, tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Palagan Bubat hanyalah perwakilan dari perasaan imperior.
Perasaan-perasaan tersebut sering menimbulkan pertanyaan dalam diri, jangan-jangan “Kuring bukan urang Sunda”. Apa lagi ada yang sering berkata bahwa orang Sunda harus malu bila tidak bisa main kecapi, suling, serta alat-alat musik Sunda lainnya. Atau, berbahasa Sunda dengan baik (ala Mataram-an, dengn UUBS-nya). Uniknya, pembicaraan tentang ke-Sunda-an senantiasa menjadikan era Pajajaran sebagai model masyarakat Sunda “ideal” atau tepatnya original sedangkan konstruk budaya yang disosialisasikan adalah Sunda-Mataram, baik bahasa maupun cita-rasa seninya… Mungkin karena kebanyakan budayawan terlahir dari keluarga Priayi Sunda-Mataram. Priayi yang memiliki mental Pun Boncel, yang berada dalam kuasa budaya lain, yang tidak pernah merasa risih untuk menolak asal-usulnya, poho ka purwadaksina. Lupa pada warisan primordialnya. Lebih bisa dan membuka diri untuk menerima budaya Mataraman, dan menolak (nga-apilainkeun) budaya warisan Sunan Gunung Djati yang menurut cerita karuhun Sunda adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Bahkan dengan tidak risih pula menolak Cirebon sebagai bagian integral dari budaya Sunda. Padahal sejak jaman kerajaan Galuh dan Kawali, Cirebon merupakan salah satu jalur vital dan strategis yang menghubungkan Sunda dengan kerajaan lain di belahan dunia lain. Yang, kemudian menjadi pusat kekuasaan Sunan Gunung Djati. Sunan Gunung Djati kemudian mengembangkan sayapnya ke wilayah Banten dengan mengutus dan menjadikan anaknya sebagai penguasa wilayah tersebut.
Kini, salah satu dari wilayah kekuasaan Sunan Gunung Djati tersebut telah memisahkan diri dari Jawa Barat. Bila hal itu terjadi, maka adagium “ngamumule budaya Sunda” tidak lagi memiliki makna yang sebenarnya, karena tidak dibarengi dengan itikad ngamumle kosmos spiritual dan wilayah atau kesundaannya. Pada jaman kerajaan Kawali, dan Pajajaran-Banten khsusnya “Badui” memiki posisi spiritual yang sangat tinggi, ia bahkan merupakan “axis mundi” orang Sunda dan tatar Sunda dengan penguasa langit dan bumi. Pada masa Sunan Gunung Djati Cirebon pun pada akhirnya menjadi pusat spiritual orang Sunda, paling tidak dari kalangan Islam-Sunda. Namun, kini salah satu wilayah spiritual Sunda tersebut telah terpisah dari orang-orang Sunda wilayah timur. Bila demikian, latar histori sebagai khazanah primordial Orang Sunda telah hilang dari kehidupan masa depannya. Kini, yang tersisa dalam khazanah sejarah spiritual Orang Sunda bagian Timur adalah Cirebon. “Belahan Sunda” yang jarang masuk dalam pembicaraan tokoh budayawan Sunda.

Semangat primordial (bukan primordialisme) merupakan semangat yang bisa melahirkan rasa percaya diri pada masyarakat suatu bangsa, seperti kepercayaan primordial bangsa Jepang bahwa mereka keturunan Dewa Matahari. Semangat yang melahirkan rasa percaya diri dan harga diri bangsanya. Semangat yang memecut bangsanya untuk maju dan melangkah lebih pasti. Ia tidak pernah mengutuk dikarenakan orang lain berada di depannya, asal ia tidak pernah berhenti untuk melangkah. Ia merasa bahwa ia adalah bangsa terbaik yang ditakdirkan Tuhannya untuk menjadi bangsa yang luhur dan maju.
Bila demikian, wajar bila berbicara tentang Sunda dengan segala aspeknya, ibarat menggantang asap, menegakkan benang basah. Karena semua pembicaraannya tidak memiliki semangat sejarah spiritual, tak lebih dari penyaluran emosi belaka. Pembicaraan yang didasarkan pada dendam, bukan harga diri dan rasa percaya diri. Pembicaraan tentang palagan Bubat, sebagai contoh, lebih mengarah pada pemunculan emosi ketertindasan untuk menyulut dendam. Sisi lain yang lebih positif dari peristiwa palagan Bubat jarang dibicarakan. Sebagai contoh, bagaimana penyelesaian dan keputusan yang diambil oleh Prabu Bunisora Suradipati yang dikenal dengan Prabu Batara Guru Pangadiparamarta Janadewabrata. Ia mengambil cara menahan diri, sesuai dengan prinsip ajaran spiritualnya, ajaran spiritual Sunda. Bukan dengan cara membabibuta dan teror. Tragdi di mata Prabu Batara Guru bahkan menjadi motivasi untuk meningkatkan kualitas spiritualnya, memperkuat kepribadiannya. Dan, menyalurkan “dendam” pada aspek-aspek positip, sehingga kerajaan tersebut mencapai kejayaannya. Ia mempersiapkan Raja Muda Wastu Kencana, putra Sang Hyang Bubat sebagai “tabungan” bagi kejayaan Sunda di masa depan. Sikap yang dilakukan pula oleh Raja Pajajaran Prabu Siliwangi ketika mengalami pertentangan dengan generasi baru Sunda, Kean Santang yang memiliki keyakinan yang berbeda. Hal yang sama pula dilakuakn Sunan Gunung Djati ketika kenyataan ia sebagai turunan Prabu Siliwangi, pewaris Kerajaan Pajajaran ditolak karena ia menganut keyakinan yang berbeda.

Kuring orang Sunda, demikian yang dikatakan salah seorang teman yang berasal dari Banten, demikian juga temanku yang orang Cirebon. Saya bukan orang Jawa, demikian teman yang berasal dari Cirebon itu berkata penuh emosi. Orang yang sering dijuluki oleh orang Priangan sebagai Jawa reang, karena mereka tidak menggunakan bahasa Sunda (?) sebagai bahasa sehari-harinya. Saya jadi bingung sendiri, karena saya sendiri tidak tahu Bahasa Sunda yang betul-betul Sunda. Apakah bahasa orang Priangan yang memiliki undak-unduk Bahasa, Bahasa Banten yang kasar (menurut orang Priangan), atau Bahasa Cirebon yang disebut orang Priangan sebagai Bahasa Jawa, walaupun orang Jawa sendiri belum tentu mengerti Bahasa Cirebon. Atau mungkinkah Sunda sendiri sejak dulu memang memiliki sejumlah bahasa bukan sekedar dialek. Bila benar, maka kesundaan seseorang sulit bila diukur oleh bahasanya saja. Paling tidak “harus” diakui bahwa terdapat banyak atau bukan hanya satu-satunya bahasa yang dipakai oleh orang Sunda, atau orang yang mengakui dirinya sebagai orang Sunda.

Atau, cukupkah hanya dengan menyebut dirinya sebagai orang Sunda, dengan dasar bahwa ini keturunan pituin orang Sunda? Apakah mereka gugur sebagai orang Sunda karena ia lebih pasih berbahasa “lain”, atau bahkan tidak mengerti bahasa Sunda, kalaupun ia keturunan asli Sunda? Seperti halnya orang Sunda sekarang, generasi yang lahir dari rahim Sunda pituin, yang tidak mengenal dengan baik bahasanya (Sunda-Mataram ?), tidak mengenal khazanah budayanya. Ia tidak bisa bermain musik degung, kecapi, suling. Tidak pula pernah mendendangkan lagu-lagu atau tembang Sunda, bahkan tidak jarang mereka menganggapnya sebagai seni kampungan. Lebih dari itu, ia pun tidak pernah perduli apakah ia orang Sunda atau bukan. Apakah ia masih dianggap orang Sunda?

Sepertinya sulit untuk merumuskan kepastian seseorang disebut Sunda, karena Sunda bukanlah sebuah organisasi formal yang memiliki sejumlah syarat dan kriteria keanggotaan. Ketidakperdulian mereka, generasi muda keturunan Sunda pituin, itu jangan-jangan karena ketidakperdulian “kelompok” tertentu terhadap budaya Sunda. Ia hanya bangga bahwa dirumahnya tersimpan sejumlah naskah asli tentang kesundaan, dirinya memiliki kemampuan dalam bidang kebudayaan Sunda, tanpa memberi peluang yang lebar pada yang lain untuk menikmatinya, memanfaatkannya, mengetahuinya. Ia sadari bahwa apa yang dimilikinya dan ia simpan di lemari antiknya adalah milik semua orang Sunda, yang ditipkan leluhurnya melalui tangannya. Bila menggunakan term “penghianat bangsa” atau paling tidak “orang yang tidak perduli dengan budaya bangsanya”, siapakan diantara mereka yang merupakan “penghianat” atau “orang tidak perduli dengan budaya bangsanya”?

Tampaknya kita telah terbiasa untuk mencari kambing hitam dari kesalahan yang telah kita lakukan. Keterasingan dari budaya lokal, Sunda, yang dialami oleh generasi muda Sunda sering ditimpakan pada sistem pendidikan. Padalah sejad dahulu pewarisan budaya tidak pernah dilakukan melalui jalur pendidikan formal, melainkan melalui pendidikan sosial secara langsung. Dan, pendidikan sosial yang berkenaan dengan aspek-asepk informatif pada era modern sangat tergantung pada luasnya kesempatan orang untuk membaca dan menyimak, buka melalui tradi lisan saja. Kedewsaan berfikir masyarakat, seperti dialami oleh masyarakat Yunani Klasik yang telah melahirkan tradisi berpikir filsafat, terjadi tatkala budaya lisan beralih menjadi budaya tulisan. Yaitu, tatkala cetita mitos yang bersifat lisan beralih menjadi tulisan oleh tangan Homerus.
Dengan demikian, bila khazanah Sunda klasik hanya ada dilemari dan dalam ingatan segelintir orang , tanpa upaya untuk mensosialisasikannya melalui tulisan, maka jangan salahkan generasi muda bila ia tidak pernah mengenal sejarah bangsanya dan budaya bangsanya. Jangan-jangan ketidakpedulian pemegang pusaka Sunda tersebut adalah cerminan dari sikap “diam” para leluhurnya yang ditafsirkan secara salah, atau dengan cara yang berbeda. Hanya Tuhan yang tahu.

1 comment:

wanpiecebrur said...

numpang copy tulisanya yang bahan untuk tugas kuliahan

thank's

kalo ada contoh penyelesaian kasus masyarakat adat khususnya masyarakat adat pada daerah sunda