Tuesday, January 29, 2008

Mengembara Bersama Sangkuriang

---

Sangkuriang ! Sing wayahna, Cape gawe teu kapake, Oleng panganten teu tulus, Lalayaran dibedokeun, Tuh, balebat geus marakbak, Ciri wanci enggeus beurang, Andika nya kabeurangan. SIKLUS kehidupan manusia yang digambarkan dalam mitologi, seperti halnya dalam jendre cerita rakyat lainnya, mengandung pesan tertentu. Pesan tentang intisari dan pencapaian kualitas kehidupan serta tingkat spiritualitas seorang individu. Mitologi yang dalam masyarakat Sunda lebih dikenal dengan sasakala merupakan cara nenek moyang masyarakat Sunda mewariskan kearifan tentang intisari kehidupan dan cara menjalaninya.

Terdapat banyak sekali sasakala atau mitologi yang dikenal dalam masyarakat Sunda, di antaranya Sasakala Tangkubanparahu yang memunculkan tokoh Sangkuriang. cerita yang mengisahkan perjalanan kehidupan seorang anak manusia untuk mencapai tingkat kehidupan spiritual yang tinggi. Sangkuriang merupakan salah satu tokoh yang paling banyak melahirkan pandangan stereotif dari siapa pun termasuk masyarakat Sunda sendiri.

Sangkuriang merupakan salah seorang tokoh yang paling ganjil di antara tokoh-tokoh mitologi yang dikenal dalam mitologi Sunda. Ia terlahir dari seorang perempuan (Dayang Sumbi) yang terlahir dari rahim seekor babi hutan. Lebih dari itu, ia pun (Sangkuriang) berbapakkan seekor anjing (Si Tumang) yang dibunuhnya pula. Sangkuriang pada akhirnya mati (menurut salah satu versi) dengan jalan bunuh diri mengikuti jejak ibunya yang dicintainya yang hendak dikawininya.

Dalam perspektif umum masyarakat Sunda, Sasakala Tangkubanparahu lebih dilihat sebagai gambaran tragedi kehidupan manusia. Ambiguitas kehidupan manusia yang berada dalam cengkraman hukuman Tuhan. Hukuman atas perilaku seorang raja yang melanggar etika kehidupan karena membuang hajat disembarang tempat: buang air ke dalam batok kelapa yang pada akhirnya diminum oleh seekor babi betina. Dosa yang kemudian harus pula ditanggung oleh anak cucunya.

Sasakala Tangkubanparahu merupakan salah satu contoh mitologi yang pesan kearifan tradisinya gagal dicerna oleh masyarakatnya. Mitologi ini pada akhirnya hanya mampu menceritakan asal mula kelahiran sebuah gunung dan cekungan Bandung, dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan manusia kecuali tentang perjalanan kehidupan seorang anak manusia yang durhaka pada orang tuanya. Tampak bahwa, pesan-pesan sasakala ini sedemikian naifnya dibandingakan dengan dinamika perjalanan kehidupan yang dijalani oleh manusia Sangkuriang.

**

KEARIFAN tradisi masyarakat Sunda buhun, seperti halnya kearifan tradisi masyarakat lainnya, memiliki sejumlah kemungkinan penafsiran. Seperti mengupas bawang, yang apabila kulitnya dikupas, kita akan menemukan kulit-kulit lainnya. Dan, apabila terus menerus kita kupas, kita akan sampai pada ruang kosong.

Bagi Sangkuriang, sang tokoh spiritualis, kehidupan merupakan misteri yang harus terus menerus diungkap. Karena, kehidupan bagi manusia Sangkuriang merupakan anugrah yang paling berharga. Misteri yang nilainya bukan terletak pada capaiannya dalam kehidupan, melainkan pada proses menjalaninya.

Pase pertama kehidupan yang mesti dijalani oleh Sangkuriang dalam memungut inti kehidupan untuk menjadi manusia sejati adalah apa yang diajarkan bapaknya untuk berburu. Berburu, adalah satu pola kehidupan yang paling paradoks dalam kehidupan. Satu sisi sang pemburu harus dekat dan akrab dengan alam. Dan di sisi lain, sang pemburu harus menjadi "pemangsa", mengontrol dan mengendalikan kehidupan yang lain, dan secara bersamaan mengontrol kehidupannya sendiri.

Sangkuriang mendapat seorang guru terbaiknya dalam berburu, bapaknya. Oleh karena itu sang bapak ini digambarkan sebagai seekor anjing. Ketika Sangkuriang dan bapaknya gagal dalam berburu itu menjadi tanda bahwa proses berguru kepada sang bapak telah selesai. Sangkuriang harus menemukan ilmu yang lebih tinggi lagi, karena ilmu berburu yang ia dapatkan dari bapaknya tidak lagi mencukupi. Untuk itu Sangkuriang harus melepaskan diri dari "ikatannya" dengan sang bapak. Dalam Sasakala Sangkubanparahu, digambarkan dalam proses pembunuhan: yakni ketika Sangkuriang membunuh bapaknya. Jantung sang bapak diberikan kepada ibunya sebagai tanda bahwa pelajaran dari bapaknya telah selesai, dan mereka memakannya bersama-sama. Intinya, bapak (disimbolkan dengan jantung) disatukan dalam dirinya dan menjadi unsur integral dalam darah yang mengalir dalam diri Sangkuriang. Dengan demikian, hubungan ayah-anak dalam kesadaran Sangkuriang tidak lagi sekadar hubungan biasa, melainkan hubungan yang bersifat kekal, mengalir dalam dirinya, Sangkuriang adalah Si Tumang, dan Si Tumang adalah bapak. Dengan demikian, "pembunuhan" merupakan "simbol" dari "simbol" prosesi penyatuan.

Tidak lama setelah Sangkuriang melepaskan diri dari asuhan bapaknya, ia pun pergi mengembara dan melepaskan diri dari asuhan ibunya. Dalam versi sasakala, Sangkuriang diusir ibunya karena telah membunuh ayahnya. Versi cerita tersebut bisa ditafsirkan bahwa lepasnya asuhan ayah atas anak, menjadi momentum untuk melepaskan ikatan dari ibunya. Sebelum kepergiannya, Dayang Sumbi (Sang Ibu) memberikan "tanda" di kepala Sangkuriang. Tanda yang diberikan melalui prosesi: "pukulan centong nasi" di kepala Sangkuring. Centong merupakan simbol dari masa dan media asuh Sangkuriang oleh ibunya. Bekas pukulan, menjadi tanda dan sekaligus "jalan hidup" yang menjadi awal dan sekaligus akhir (paradoks ruang-waktu, keabadian).

Pengembaraan Sangkuriang digambarkan dalam sejumlah upaya "penaklukan". Penaklukan dunia langit, dunia bawah bumi, lautan dan daratan. Dunia riil dan dunia kasat mata. Semua arah dan dunia dipusatkan dalam dirinya, untuk membangun diri yang "masagi": diri yang merangkum seluruh arah mata angin dan seluruh sudut realitas, dalam waktu yang bersamaan seluruh arah dan seluruh sudut realitas adalah Sangkuriang. Diri adalah pusat segalanya, dan segalanya adalah diri.

Setelah semuanya dapat ia kuasai, Sangkuriang sampai pada pase terakhir dari pengembaraannya, yaitu menemukan kembaran dirinya: awal dan akhir dirinya. Untuk mencapai kesempurnaan diri sebagai diri yang benar-benar masagi, Sangkuriang harus menemukan pusat diri (pancering diri) sehingga membentuk apa yang orang Sunda sebut sebagai papat kalima pancer.



Dalam pencarian akhir ini Sangkuriang menemukan seorang perempuan. Dengan perspektif awal, Sangkuriang berusaha "menyatu" dengan kembaran dirinya dengan cara menguasainya, sebagaimana ia menguasa dunia dan realitas lainnya.

Sementara itu Dayang Sumbi, perempuan itu, tidak pernah bisa ia kuasai, karena memang bukan untuk dikuasai. Karena menemukan jejak keabadian di kepala Sangkuriang, Dayang Sumbi akhirnya tahu bahwa laki-laki yang dihadapinya bukanlah laki-laki sembarangan. Laki-laki yang telah memiliki tingkat pengetahuan yang sangat tinggi yang sedang menapaki makom akhir dari perjalanan spiritualnya. Namun, karena masih terdapat kecenderungan untuk menguasai yang merasuk dalam diri Sangkuriang, Dayang Sumbi itu mengajukan dua hal yang harus dilakukan oleh Sangkuriang untuk menyempurnakan prosesi penyatuan, prosesi yang menjadi pintu masuk makom akhir perjalanan spiritual. Laku yang harus dilakukannya di malam hari dan hanya dalam satu malam, serta harus selesai sebelum keluar balebat, pertanda hari menjelang siang. Yaitu, ngabendung Sang Hyang Tikoro untuk membuat "talaga", dan membuat sebuah perahu untuk melakukan prosesi pengantenan, menyatukan kembara diri.

Malam adalah ruang-waktu primordial yang menyatukan kesucian bumi-langit (feminimitas-maskulinitas), dan siang adalah waktu dunia. Balebat adalah waktu antara yang ada dalam imaji manusia. cahaya yang terlahir dari batas kemampuan manusia untuk menerobos batas-batas pandang untuk menangkap cahaya sejati, kebenaran hakiki. Sanghiyang Tikoro adalah pintu yang membatasi antara nafsu, ego, dengan kearifan batini. Dan perahu adalah kendaraan kehidupan yang memberi kemungkinan kepada manusia untuk berlayar dalam kehidupan sehingga terhindar dari kemungkinan untuk tenggelam dalam "sagara" kehidupan yang penuh dengan penderitaan dan tipuan.

Masih dengan perspektif awal, persyaratan dari Dayang Sumbi (sang perempuan) dimaknai dalam lapis permukaan. Yang Sangkuriang lakukan bukan seperti apa yang Dayang Sumbi maksudkan. Sebagai manusia yang telah berhasil menangkap pelajaran dari pengalaman dunia nyata, ia hanya mampu mengupas kulit pertama dari kulit bawang
kehidupan. Untuk mengupas kulit yang lebih dalam matanya menjadi pedih dan pandangan menjadi buram bahkan tidak lagi bisa melihat.

Dengan seluruh "kesaktian" dan pengetahuannya Sangkuriang membendung Sungai Citarum dan membuat sebuah perahu, dalam satu malam. Namun atas jerih payahnya, Dayang sumbi berujar : Aeh-aeh, naha silo Kabobodo ku panenjo.

Untuk menyempurnakan perjalanan dalam menemukan diri yang sejati, manusia Sangkuriang (Sang Kuring, Si Aku) harus menemukan kembaran diri yang menghubungkan antara masa lalu, masa kini dan masa depannya: menegaskan tanda di kepala yang menjadi penunjuk arah jalan kehidupan, meyempurnakan lingkaran primordial dalam dirinya. Dan, untuk itu ia harus membendung Sang Hyang Tikoro dan membangun sebuah perahu untuk berlayar menuju Asal Diri Nu Sajati. Bukan dengan menguasai sesuatu yang ada di luar dirinya, akan tetapi "menguasai" apa yang ada dalam dirinya. Menyibakkan balebat yang menipu dan menyilaukan pandangan. Membangun bendungan pertahanan dalam diri dari terjangan derasnya air kehidupan dunia, dan membangun pijakan kehidupan yang kokoh untuk mengarungi telaga kehidupan yang penuh gelombang dan godaan, yang memungkinkan memisahkan kembali kembara diri yang sejati.

Namun, kehidupan dunia ini memang bukan panggung selamanya berakhir dengan kesuksesan, walau pun bukan berarti tanpa jalan keluar yang lain. Kesalahan Sangkuriang dalam memaknai kata-kata Dayang Sumbi, karena ia terjebak oleh cara pandang "duniawi"; mengharuskannya mengambil jalan penyelesaian paling sulit. Bukan lagi dengan membendung Sang Hyang Tikoro, akan tetapi dengan memisahkan antara raga badag dengan ruhaninya. Laku yang akhirnya ia jalani seperti apa yang dilakukan Dayang Sumbi.

No comments: