Tuesday, April 18, 2006

Ki Sunda, sundek

---

Ki Sunda, sundek ?


Ahmad Gibson Al-Bustomi


Ki Sunda tutung buntut”, ungkapan yang barang kali bisa menggambarkan keadaan inohong Sunda kiwari, baik dari kalangan muda Sunda maupun dari kalangan tua. Keadaan yang menggambarkan prilaku yang merupakan representasi dari perasaan-perasaan kesal, marah, sedih, dan khawatir, serta perasaan lainnya yang berkecamuk dalam dada mereka, melihat keadaan kumna urang Sunda yang hare-hare dengan nasib seke-seler dan warisan budaya karuhun etnik Sunda. Perasaan yang tidak jarang dekat-dekat pada situasi emosi yang cenderung “peka”, mudah tersinggung, gampang marah, dan tidak jarang kehilangan kontrol akal sehat.

Ada sebagain orang Sunda yang meresa khawatir dengan kelangsungan Ki Sunda, sehingga terucap ungkapan bahwa Ki Sunda sedang sekarat, hampir punah, dan lain sebagainya. Dan, ada pula yang bersikukuh bahwa Ki Sunda tidak akan pernah punah dari muka bumi. Bila kita simak secara daria (mendalam), tampaknya kita bisa sepakat bahwa kedua ungkapan (pendapat) yang tampaknya saling bertentangan tersebut sama-sama terlahir dari kecintaan mereka terhadap Sunda, baik Sunda sebagai fenomena fakta sejarah, sebagai fakta budaya dan nilai (ajen-inajen) budaya, etnik, dan apa pun yang berhubungan dengan Ki Sunda.

Fakta bahwa Ki Sunda sedang mengalami masa pasang surut (sakarat) tampaknya bukan hal yang perlu diperdebatkan, hal tersebut dirasakan oleh sejumlah inohong Sunda. Demikian juga fakta bahwa Ki Sunda sedang mengalami proses kebangkitan, itu pun tidak bisa dipungkiri. Lalu, bagaimana dua peristiwa (pasang surut dan kebangkitan) bisa terjadi secara bersamaan? Hal ini sebernanya bukan hal yang terlalu sulit untuk dimengerti, bagi yang mengerti hukum sejarah. Bahwa, masa-masa kebangkitan selalu berada secara bersamaam pada titik dimana titik kulminasi kemerosotan suatu bangsa terjadi. Demikian juga sebaliknya, titik kulminasi kemajuan senantiasa berada secara bersamaan dengan era kemunduran. Tinggal persoalannya, bagaimana kita menentukan titik keberangkatan kita dalam melihat persoalan tersebut. Sehingga, kita bisa mengatakaan apakah kita (Ki Sunda) sedang berada dalam titik kemunduruan atau titik awal kebangkitan. Dalam posisi ini sikap pesisimis atau pun optimis dalam melihat nasib Ki Sunda tetap memiliki nilai tambah (positif). Sikap optimis paling tidak akan melahirkan dan membangun semangat (spirit, roh) Ki Sunda dalam menghadapi berbagai tantangan di masa kini dan masa depannya. Dan, sikap pesimis akan melahirkan kehati-hatian (taki-taki) dan senantiasa melakukan evaluasi terhadap perkembangan apa pun yang dialami oleh Ki Sunda. Kedua sikap tersebut tentunya akan positif sejauh kita melihat apa pun secara positif pula. Sikap optimis demikian juga sikap pesimis yang berlebihan dalam melihat apa pun, khususnya menerawang Ki Sunda, tidak bisa dikatan baik dan positif.

Menghangatnya wacana tentang adanya indikasi Ki Sunda menghadapi masa-masa sekarat, bila penulis tidak salah, bermula dari hipotesa yang dilemparkan Ajip Rosidi, salah seorang imam madzahab pemikiran kesundaan kiwari, tentang kemungkinan matinya bahasa Sunda. Hipotesa yang didasarkan dan didukung oleh fakta berkurangnya apresiasi masyarakat Sunda (urang Sunda) dan keengganan mereka menggunakan bahasa Sunda. Kekhawatiran yang kurang lebih sama, dengan asumsi yang sedikit berbeda (?), juga diungkap inohong Sunda generasi pertengahan abad 19, Moehamad Moesa, tentang keadaan sakitnya bahasa Sunda, yang disebabkan oleh banyaknya serapan bahasa Arab dan Melayu ke dalam bahasa Sunda. Lalu, apa hubungannya sakit yang dialami bahasa Sunda dengan keadaan Ki Sunda secara keseluruhan?

Nasib bahasa Sunda di masa penjajahan Mataram dan Belanda secara lebih lengkap diungkap Mikihiro Moriyama dalam tulisannya (disertasi) “Discovering The Language and The Literature of West Java: An Introduction to The formation of Sundanese Writing in 19th century West Java” yang merupakan bab awal dari disertasinya yang berjudul “A New Spirit: Sundanese Pulishing and the changing Configuration of Writing in Nineteenth-Century West Java”. Disertasi itu kini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan Judul Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesusastraan Sunda Abad ke-19, bagian tulisan itu pun pernah dimuat dalam Jurnal Dangiang. Berdasarkan tulisan tersebut yang mengungkap berbagai data dan sumber sejarah, dapat dikatakan bahwa awal melorotnya dangiang atau kharisma bahasa Sunda dalam masyarakat Sunda diawali oleh rendahnya apresiasi (penghargaan) para priayi dan kalangan ningrat Sunda jaman pendudukan Mataram di tanah Sunda yang berlanjut pada masa pendudukan belanda. Mereka (para priayi) lebih senang dan lebih merasa terhormat bila menggunakan bahasa Jawa, khususnya dalam surat-menyurat. Fenomena yang (mungkin) juga dapat dianggap sebagai penyebab atau akar lahirnya undak-unduk (tingkatan) basa dalam bahasa Sunda. Sistem bahasa yang terlahir dari adanya anggapan perbedaan derajat (strata sosial) antara kelas priayi dan somah.

Menurut saya, fenomena ini telah melahirkan berbagai persoalan dalam masyarakat Sunda. Pertama, lahirnya trauma politis di kalangan masyatakat Sunda, khususnya Ki Sunda dari kalangan budayawan dan masyarakat menengah ke bawah (somah), karena merekalah yang paling dirugikan. Trauma yang secara efektif melahirkan phobia di kalangan masyarakat Sunda akar rumput terhadap apa pun yang berbau politik yang dalam sejarah Sunda telah melahirkan perbedaan kelas. Kedua, khususnya pada masa sekarang, bahasa Sunda bertinggat tersebut telah melahirkan keengganan masyarakat Sunda untuk belajar secara serius dan menggunakan bahasa Sunda sintetik tersebut, karena diangap terlalu sulit dan rumit. Mereka memiliki prinsip dari pada salah dalam menggunakan undak-unduk basa, lebih baik tidak menggunakan sama sekali, kecuali di kalangan internal komunitas mereka sendiri, tentunya bahasa Sunda dengan tanpa aturan yang rumit tersebut. Ketiga, keadaan pada point kedua tersebut telah melahirkan sikap rendah diri masyarakt Sunda untuk mengusung apa pun yang berhubungan dengan kesundaan. Kesundaan dengan berbagai aspek dan identitasnya pada akhirnya hanya dihubungkan dengan acara-acara formal yang berbau adat atau bisnis pariwisata.

Dengan demikian, tidak pada tempatnya untuk mengatakan bahwa fenomena langkanya penggunaan bahasa Sunda dalam masyarakat Sunda, khususnya masyarakat perkotaan, dianggap sebagai persoalan yang tidak penting, walau pun memang bukan satu-satunya. Karena, problematika kebahasaan dalam bahasa Sunda ini, diakui atau tidak, telah menjadi pemicu awal hilangnya identitas dan harga diri Ki Sunda. Ki Sunda kini menjadi “heureut lengkah” karena ia kehilangan media aktualisis diri yang paling sublim. Sepasih-pasihnya orang (Ki Sunda) menggunakan bahasa orang lain (asing), ia tidak akan mampu mengekspresikan pengalaman bathinnya yang paling dalam (peak experiences) secara sempurna bila menggunakan bahasa orang lain, berbeda bila ia menggunakan bahasa ibunya, Sunda.

Bila Ajip Rosidi merasa gereget dan panas hati melihat fenomena miskinnya tradisi kritik sastra dalam masyarakat Sunda adalah wajar, karena dengan hilangnya rasa basa kasundaan Ki Sunda telah terputus dengan lubuk hati ke-Sunda-annya, sebagai masyarakat yang periang, penuh dengan sempal guyon, sindir sampir, sindang siloka (tradisi kritik khas timur, Sunda). Bila kita melongok pada cerita-cerita klasik masyarakat Sunda atau sejumlah masyarakat tradisi, kita akan menemukan kekayaan tradisi kritik yang sangat tajam, namun penuh ke’arifan (khas timur). Tardisi ini memang masih ada, tapi sulit untuk menemukannya di perkotaan, sebabnya jelas, karena mereka (kita orang kota) lebih sering dan terbiasa menggunakan bahasa (dengan tanpa rasa bahasa) “orang lain”. Keadaan inilah mungkin sangat tepat bila merujuk pada apa yang disebutkan Penghulu Bandung K.H Hasan Mustapa ketika ia mengatakan Sunda itu sundek, picik, tidak memiliki ruang gerak yang luas dan bebas, karena kemana pun Ki Sunda menatap dan melangkah yang kita temukan hanyalah milik orang lain, “cukleuk leuweung cukleuk lamping jauh ka sintung kalapa, lieuk deungeun lieuk lain jauh ka induk ka bapa”, yang pada akhirnya nete semplek nicak semplak, kondisi yang membuat Ki Sunda cenderung emosional dan mudah teringgung. Kecenderungan yang juga sangat potensial untuk matinya tradisi ktitik. Karena bagaimana pun halusnya kritik yang orang tujukan pada kita, akan membuat kita merasa tidak nyaman dan terhina.

Bayangkan, bagaimana tidak emosional, bila prediksi dan hipotesa tentang kondisi sekaratnya Ki Sunda dihubungkan dengan Kiamat, dan menganggap perbedaan cara pandang di kalangan Ki Sunda akan mengakibatkan perang? Dan pemikiran itu didukung pula oleh Hadits Nabi tentang ciri-ciri Kiamat. Padahal ada hadits yang lebih relepan tentang perbedaan paham dan cara pandang, yaitu bahwa perbedaan paham dan cara pandang merupakan rahmat (ikhtilafi ummati rahmat), bukannya kiamat. Sama halnya dengan ungkapan kekhawatiran juragan Miing (Dedi Gumelar) sebagai sikap tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki rasa cinta terhadap Ki Sunda. Benar-benar “sundek”. Tuh kan saya pun emosional.

Mengamati polemik di antara Ki Sunda yang emosional ini, saya jadi teringat pada do’a al-Hallaj ketika ia akan dieksekusi, “Ya Allah, ma’afkanlah mereka yang tidak setuju dengan pendirianku dan menghukumku, mereka melakukan demikian karena mereka mencintaimu seperti halnya aku pun berbuat demikian karena cintaiku pada-Mu”. Wallahu’alam.

1 comment:

aing said...

kang mundut widi...tulisan2 akang ku abdi di publikasikeun ka barudak ayeuna di : www.ngariung.com