Tuesday, April 18, 2006

STRUKTUR KOSMOLOGIS DAN APRESIASI SENI TRADISI

---

STRUKTUR KOSMOLOGIS DAN APRESIASI SENI TRADISI

Ahmad Gibson Al-Bustomi

Jerit Dewi Asri ngajerit…..”Deudeuh akang Mundinglaya di Kusumah, tiwas-tiwas, ti peuting kaimpi sumping, ti beurang kaetang datang, bisi kasilih kujunti, ulah kabeunangan bagja. Sugan teh kukupu hideung, sihoreng obat kabeuleum; suganteh Mundinglaya kukuh katineung, sihoreng kabengbat deungeun…”

K.H. Hasan Mustapa

Kebudayaan, dalam logika apa pun diakui sebagai sesuatu yang bersifat dinamis. Aspek dinamis kebudayaan ditemukan tatkala ia berelasi dengan kebudayaan lain. Sisi dinamis ini dimungkinkan, karena setiap kebudayaan memiliki dua kekuatan internal untuk survive. Kebudayaan bertahan melalui dua cara: pertama, dengan berelasi dan membuka dirinya terhadap kebudayaan lain. Kedua, dengan melakukan proteksi terhadap sejumlah kemungkinan interpensi budaya lain yang memungkinkan terjadinya proses “penghancuran” kebudayaan sendiri. Dengan kata lain, kebudayan bisa bertahan melalui himpitan dan tarik ulur dalam relasinya dengan kebudayaan lain.

Suatu masyarakat dengan kebudayaannya, bila tidak berelasi dengan masyarakat dan kebudayaan lain (dan ini sungguh-sungguh tidak mungkin), akan menyeret masyarakatnya dalam keterasingan dengan dunia luar yang lebih luas. Terutama, dalam tekanan global yang sekarang sedang melanda masyarakat-dunia. Ketertutupan dan sikap menutup diri terhadap relasinya dengan dunia luar akan menyeret masyarakat tersebut pada sikap peng-objek-kan masyarakat dan budayanya. Dalih “mempertahankan” originalitas kebudayan lokal, dengan menolak relasi dengan masyarakt dan budaya lain, akan melahirkan proses pemutlakan dan pada akhirnya eksistensi manusia sebagai unsur dinamis dan unsur primer dalam kebudayaan suatu masyarakat akan tersubordinasi di bawah bayang-bayang kebudayaannya. Manusia menjadi objek kebudayaan tanpa memiliki kesempatan untuk berkembang. Dan bila manusia, sebagai unsur dinamis dalam kebudayaan masyarakat, terlah tersubordinasi dan menjadi objek kebudayaan, manusia akan mengalami proses amnesia (lupa akan diri, ada). Dan, ketika itu secara internal kebudayaan akan mengalami kematiannya.

Di sisi lain, bila suatu masyarakat sedemikian terbuka terhadap kebudayaan yang datang dalam kehidupan masyarakat tersebut tanpa memiliki daya saring dan daya tolak, ia pun akan mengalami nasib yang tidak lebih sama. Karena, manusia dalam masyarakat tersebut menjadi objek bagi kebudayaan lain. Masyarakat tersebut akan mengalami kondisi amnesia (lupa akan dri, ada).

Dengan demikian, resepsitas dan resistensitas masyarakat terhadap kebudsyaan lain harus dalam kadar dan tingkat yang seimbang. Lalu, apa yang harus dilakukan suatu masyarakat dengan kebudayaannya ketika ia berhadapan dengan masyarakat dan kebudayaan lain? Sehingga ia tetap menjadi dirinya sendiri secara autentik, kalaupun ia menggunakan kebudayaan yang berasal dari masyarakat lain.

Kebudayaan merupakan kristalisasi dari sejarah psikologis dan kreatifiitas sebagai biografi masa lalu masyarakatnya. Masa lalu yang membentuk wilayah sub-sadarnya sebagai dasar dalam merumuskan dan mengkonseptualisasikan pandangannya tentang dirinya, alam sekitar dan nilai bagi kehidupannya. Konsep yang dalam terminologi antropologi atau ilmu budaya dikenal dengan “pandangan kosmologis”. Suatu pandangan yang merupakan upaya pemetaan dan positioning dirinya dalam lingkup ruang-waktu yang mengitarinya. Dalam teorema van Peursen, pandangan kosmologis ini merupakan keputusan yang diambil masyartakat sebagai strategi dalam memahami untuk menjalani kehidupan di bawah “tekanan-tekanan” fenomena dan kondisi yang melingkupinya. Strategi untuk memahami kondisi keterhimpitan yang tidak dimengertinya menjadi sesuatu yang sungguh dimengerti, yang melahirkan nalar budaya tertentu. Nalar budaya pun, pada akhirnya “harus” dipahami sebagai sesuatu yang memiliki hubungan interdepedensi dengan pandangan kosmologis yang hidup dalam masyarakat.

Pandangan kosmologis, sebagai merupakan kristalisasi yang bersifat konseptual dari pengalaman masyarakat dalam memahami dan merespon penampakan dunia luar dirinya (“alam”), menentukan wujud prilaku dalam merespon alam dan lingkungannya. Seni, sebagai strategi kebudayaan, merupakan wujud respon terhadap alam dan lingkungannya. Seni merupakan prilaku simbolik masyarakat untuk menyelaraskan antara struktur prilaku alam dan lingkungannya dengan struktur pengalaman bathinnya. Dengan demikian, seni dan tradisi-tradisi lainnya dalam suatu masyarakat tidak bisa hanya dipahami dalam paradigma empirik, tanpa memandangnya sebagai “dunia” ketiga kehidupan manusia. Yaitu, dunia simbolik, dunia yang hidup dalam pikiran manusia. Dunia yang dianggap nyata oleh suatu masyarakat, secara apriori, akan tetapi bisa dianggap sebagai khayalan atau prilaku neurosis oleh masyarakat lain. Ekspresi kebudayaan, khususnya dalam dunia seni, bukan masalah benar atau salah, akan tetapi persoalan pemaknaan. Realibilitas suatu seni budaya tidak bisa dilihat dalam nalar rasional dan nalar empirik belaka, akan tetapi pada sejauh mana suatu masyarakat memberi makna dan “menghayati”-nya. Sebagai ilustrasi, generasi muda Indonesia yang belum tentu memiliki kemauan berbahasa Inggris dengan baik, bisa saja ia menikmati dan mengapresiasi seni musik Barat dengan baik. Dalam bahasa yang sering kita dengar, mungkin sebagai pernyataan apriori, bahwa mereka lebih bisa mengalami nilai-nilai religius dengan mendengarkan lagu-lagu atau musik Barat, dari pada alunan ayat suci sekali pun; dan lebih bisa menghayati kearifan dan nilai-nilai kemanusia melalui lagu-lagu dan musik tersebut, dibandingkan dengan bila mendengarkan lagu-lagu dan musik tradisional. Hal ini bisa dipahami bila ia telah mampu memahami dan mengalami pandangan kosmologis yang hidup dalam nalar masyarakat dan kebudayaan Barat. Kalau tidak, jangan-jangan yang ia hayati hanyalah nalar populis. Yaitu, menikmati tuntutan popularitas, bukan keselarasan antara seni dengan biografi kehidupannya. Nalar yang merepresentasikan kepribadian yang mengalami “amnesia”, lupa akan diri.

Masyarakat Sunda, sebagai masyarakat yang hidup dalam alam dan kultur Sunda, tentunya memiliki seperangkat pandangan kosmologis, sebagai kristalisasi biografi masa lalunya; baik masa lalu pribadinya, maupun masa lalu yang diwariskan pendahulu atau nenek moyangnya. Biografi yang secara “dialektis” menghasilkan cara pandang baru (sintetik). Dialektika tersebut terjadi dalam bentuk evaluasi dan kritik budaya, dengan prinsip “bertolak dan menolak”. Maksudnya, kritik dan evaluasi yang dilakukan tetap berpijak di atas pandangan kosmologis sebelumnya, untuk membangun pandangan kosmologi baru, atau paling tidak memberikan makna baru terhadap pandangan kosmologi sebelumnya.

Kritik dan evaluasi kultural tersebut dilakukan baik dalam proses penerimaan maupun dalam proses penolakan. Bila penerimaan suatu kebudayaan tanpa melakukan kritik dan evaluasi tersebut akan menimbulkan keterputusan hubungan sejarah dan biografi antara dirinya dengan kebudayaannya. Ia merespon kebudayaannya secara semu, dan hanya menangkap sisi-sisi permukaanya. Bila demikian, kebudayaan hanya hadir sebagai warisan masa lalu tanpa memiliki fungsi-fungsi sosial dan budaya bagi diri dan masyarakatnya. Pentas seni tradisional, sebagai contoh, hanyalah menjadi ritus pemeliharaan artepak budaya masa lalu, bukan sebagai ekspresi dan apresiasi terhadap kebudayaan tersebut.

Sebagai ilustrasi, mengapa masyarakat Sunda kiwari pada umunya tidak memiliki dan tidak mampu mengapresiasi kebudayaan lokalnya? Jangan-jangan karena mereka tidak lagi memiliki ketersambungan pandangan kosmologi dan pengalaman biografisnya dengan dasar pijakan kosmologis dan biografi yang melatarbelakangi lahirnya seni dan kebudayaan Sunda.

Secara kultural, di mana sesungguhnya pandangan kosmologi masyarakat tradisi berada? Pada umunya, pandangan kosmologi suatu masyarakat tergambar dalam khazanah mitologisnya. Demikian juga dengan pandangan kosmologi Sunda, terdapat dalam kekayaan khazanah mitologinya. Namun, berapa banyak sesungguhnya masyarakat muda Sunda kiwari yang mengenal khazanah mitologi Sunda. Karena, mitos dalam pandangan masyarakat Sunda “modern”, telah dianggap sebagai sesuatu hayali belaka, tidak memiliki makna dan pijakan yang berdasar. Mudah diduga, bahwa pandangan ini muncul dari paradigma modern yang berpijak di atas paradigma positifisme, yang mengharamkan hadirnya pandangan dan paradigma mitologis.

Bila demikian, bagaimana kita mesti menyikapi mitos-mitos yang hidup dan dikenal dalam masyarat sendiri, Sunda? Dalam kacamata kesekarangan atau kemodernan, memang sulit untuk bisa menerima kehadiran mitos tradisi kecuali hanya sebagai cerita-cerita pengantar tidur. Cerita yang hanya hidup dalam hayalan anak kecil belaka. Untuk bisa menghidupkan kembali mitos-mitos tradisi sebagai pijakan pandangan kosmologis tampaknya harus dilakukan pemaknaan ulang secara “kritis” terhadap mitos-mitos tersebut. Dr. Afifi Muhammad, salah seorang dosen senior penulis, pernah mengatakan dalam salah satu kuliahnya: “Saya tidak peduli apakah cerita-cerita dalam kitab suci itu benar-benar ada dan terjadi, yang penting bagaimana saya bisa mengambil makna dan pelajaran dari cerita tersebut”. Bila nalar yang sama kita gunakan untuk melihat mitos-mitos tradisi, kita bisa mengatakan, “Tidak penting apakah mitos-mitos tradisi itu menceritakan apa yang benar-benar terjadi atau hanya hayalan belaka, yang lebih penting adalah pelajaran dan makna apa yang bisa kita ambil dari cerita mitologis itu”. Dalam wacana teologi Kristen Modern, cara pandang ini dikenal dengan “demitologisasi”, teologi yang dikembangkan oleh Butlman. Suatau metode teologis yang berusaha untuk melihat cerita-cerita keagamaan yang berbau mitologis, dalam relasinya dengan konteks sejarah manusia. Sehingga, cerita-cerita tersbut memiliki jiwa makna historisnya.

Dengan cara pandang ini, cerita-cerita keagamaan maupun mitos, bahkan mungkin film-film modern dan telenopela, nilai pentingnya bukan pada apakah ia benar-benar terjadi, akan tetapi pada makna dan pelajaran yang bisa kita ambil dari kesemuanya itu. Bila kita berpikir secara kritis dan adil terhadap nenek moyang setiap bangsa yang kita anggap naif dan kita menganggap bahwa mereka memandang mitos sebagai kejadian yang sunguh-sungguh terjadi, jangan-jangan mereka sendiri tidak pernah memandang demikian. Kalau pun mereka berpandangan demikian, hanyalah untuk menjaga kehidupan mitos tersebut dalam pikiran generasi penerusnya, sebagai wujud tanggung jawab terhadap anak cucunya. Karena, mitos dalam konteks budaya tak lebih dari “simbolisasi” dan deskripsi secara “teaterikal” terhadap pandangan hidup masyarakatnya. Mereka menjaganya dengan mengangkat cerita-cerita tersebut dengan mengangkatnya dalam matra dunia sakral. Hal itu dilakukan, karena mereka sadar bahwa pandangan kosmologis, yang tertuang dalam cerita mitologis dan cerita-cerita keagamaan, merupakan unsur penting bagi kehidupan suatu masyarakat. Mitologi, seperti diungkap van Peursen, seperti halnya paradigma ilmiah modern, merupakan pedoman dan paradigma suatu masyarakat atau generasi tertentu dalam menyelesaikan dan menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya. Dengan itu pula mereka memproduksi karya-karya budaya baru, termasuk seni tradisi. Maka, untuk bisa mengapresiasi dan menghayati serta menikmati seni budaya tradisi harus pula memiliki pengetahuan dan berdasarkan pada penghayatan terhadap paradigma mitologisnya. Untuk itu, untuk menjadikan kebudayaan dan seni tradisi harus pula diiringi dengan sosialisasi dan internalisasi tradisi mitologi sebagai dasar kosmologiya. Bila tidak, maka, kalau pun seni tradisi masih tetap hadir dalam masyarakat, termasuk seni tradisi Sunda, tak lebih hanya sebagai karya seni yang tidak memiliki kekuatan dan daya hidup masyarakatnya. Ia (seni tradisi), tak lebih seperti “jombi” dan bayang-bayang yang bergerak tanpa memiliki daya hidup.

No comments: